Liputanjatim.com – Wakil Ketua MPR RI Arsul Sani meminta pro dan kontra tentang gagasan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dibuatkan matriks. Hal ini agar memudahkan MPR dalam membedah pro kontra tersebut.
Hal itu diungkapkan oleh Arsul dalam acara Press Gathering MPR yang diikuti oleh para wartawan yang terhimpun dalam Koordinatoriat Wartawan Parlemen itu digelar di Kota Bandung, Jawa Barat pada Jumat sampai Minggu (22-24/10). Hadir dalam kegiatan itu, Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Demokrat Syarief Hasan, Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP Arsul Sani. Serta anggota MPR dari berbagai fraksi dan Kelompok DPD.
“Setelah menggelinding dilontarkan oleh MPR, kita mendapat berbagai respon dari masyarakat. Dari akademisi, penggiat konstitusi, LSM, aktivis demokrasi, dan elemen masyarakat yang lainnya,” kata Arsul.
Meski begitu, menurut Arsul, semua kekuatan politik yang ada di MPR sepakat PPHN belum diperlukan.
“Meski sudah sepakat haluan negara itu baru dokumennya bernama PPHN tetapi isinya apa belum ada kesepakatan atau kebulatan,” jelasnya.
Arsul menyatakan di tahun 2022, MPR mempunyai kewajiban untuk mengurai berapa kekuatan mesin, warna, bahan bakar, dan spesifikasi lainnya dari sepeda motor itu.
“Sehingga perdebatan yang terjadi tidak lagi berputar pro dan kontra soal PPHN,” kata dia.
Ia menguraikan keberatan yang timbul di masyarakat terkait PPHN disebabkan adanya wacana amandemen UUD. Anggapan adanya agenda lain semisal memperpanjang periode jabatan presiden menimbulkan resistensi di masyarakat.
“Nah, bila ada amandemen masyarakat curiga nanti akan ada agenda lain yang disepakati,” lanjut Arsul.
Menanggapi hal tersebut, Arsul menjelaskan amandemen UUD berbeda dengan perubahan undang-undang (UU). Amandemen UUD memerlukan ketentuan yang harus dipenuhi seperti syarat jumlah pengusul dan apa yang hendak diamandemen atau diubah harus disertai dengan alasan.
“Apa-apa yang ingin diubah harus menjadi diskursus publik,” kata dia.
Mengingat syarat dan ketentuan yang ketat, Arsul menegaskan perubahan UUD tak bisa dilakukan sembarangan.
“Bila diubah secara sembarangan hal demikian merupakan tindakan inkonstitusional,” sebut Arsul.
Arsul menyatakan presiden bisa dimakzulkan jika melanggar UUD dan melakukan perbuatan tercela. Ia menegaskan amandemen akan terasa sia-sia jika akhirnya tidak memberi kewenangan bagi MPR RI untuk menetapkan PPHN.
“Kalau pasal itu nggak ditambahkan lalu buat apa amandemen,” tandas Arsul.