Surabaya Jadi Kota Termacet Ke-4, Ais Dorong Pemerintah Segera Rancang Road Map Future

Anggota DPRD Kota Surabaya Ais Shafiyah Asfar.

Liputanjatim.com – Surabaya menempati peringkat ke-4 sebagai kota termacet di Indonesia berdasarkan penilaian TomTom Traffic Index, mengungguli Jakarta yang berada di posisi ke-5. Hasil ini menunjukkan bahwa tingkat kemacetan di Surabaya kini lebih parah dibandingkan ibu kota.

Informasi ini menjadi perhatian serius bagi berbagai pihak, termasuk anggota DPRD Kota Surabaya, Ais Shafiyah Asfar. Menurutnya, pemerintah harus segera merancang Road Map Future untuk moda transportasi di kota ini agar dapat mengatasi kemacetan dalam 10 hingga 20 tahun ke depan.

“Seiring dengan itu, Pemerintah perlu membuat Road Map Future untuk Moda Transportasi di Kota Surabaya 10 bahkan 20 tahun ke depan. Sebagai contoh Jakarta yang kini sudah menikmati MRT, yang mana mampu menempuh jarak 10 km dengan waktu 20 menit, hal ini dirancang 10 tahun sebelum pembangunan proyek ini dibuat,” ujarnya di Kantor DPRD Surabaya, Kamis(20/2/2025).

Menurutnya, kebiasaan masyarakat yang masih car-oriented menjadi salah satu faktor utama kemacetan. Oleh karena itu, solusi efektif adalah dengan mendorong peralihan ke transportasi umum yang lebih efisien dan ramah lingkungan.

“Kesadaran ini penting, karena mayoritas masyarakat Surabaya masih ‘car-oriented’. Sehingga, problem ini hanya akan terurai jika sebagian masyarakat beralih ke Transportasi Umum,” tambahnya.

Ketua harian DPP PKB ini menyatakan bahwa kemacetan yang terus memburuk tidak bisa diselesaikan hanya dengan kebijakan jangka pendek. Diperlukan perencanaan matang dan pembangunan infrastruktur transportasi publik yang modern agar masyarakat memiliki alternatif yang lebih baik dibandingkan kendaraan pribadi.

“Oleh karena itu, perlu sedini mungkin Pemerintah Kota Surabaya merancang ini, sebagai jalan keluar dari kemacetan Kota Surabaya,” tambahnya.

Ia pun menyampaikan beberapa langkah konkret yang harus dilakukan, yakni berkoordinasi dengan Dishub dan Satpol PP untuk pengamanan di jam-jam rawan macet, berkoordinasi dengan Dishub dan Dinas PU untuk memperbaiki fasilitas transportasi umum, serta melakukan sosialisasi untuk membangun kebiasaan masyarakat menggunakan transportasi publik.

“Mensosialisasikan kepada masyarakat akan pentingnya naik Transum. Di sisi lain murah dan terjangkau, hal ini perlu menjadikan bahwa naik Transum adalah habit yang kemudian bisa menjadi budaya warga Kota Surabaya. Sehingga di generasi yang akan datang, kemacetan tidak menjadi masalah lagi karena naik Transum sudah menjadi bagian dari budaya warga Kota Surabaya,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa membangun budaya transportasi publik bukanlah hal instan dan memerlukan waktu bertahun-tahun. “Pastinya ini akan menjadi catatan. Yang ingin saya tekankan adalah bahwa Budaya Transportasi Publik itu tidak bisa dibentuk 1 tahun, 2 tahun, bahkan 3 tahun. Budaya ini perlu bertahun-tahun. Lihat bagaimana Jakarta membangun budaya itu dari puluhan tahun yang lalu. Mereka menikmatinya sekarang,” ujarnya.

Menurutnya, kini saatnya Surabaya memulai perubahan tersebut. “Kini waktunya Surabaya yang harus memulai budaya ini. Penguraian Kemacetan dengan Sistem Transportasi Publik akan tercapai jika Pembangunan Fisik (Trotoar, Fasilitas, Halte) dan Pembangunan Non-Fisik (Manusianya, Regulasinya, Budayanya) bisa berjalan berkesinambungan satu sama lain,” tutupnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here