Secara Etika Politik, Emil Dardak Terkesan Tergesa-gesa Ambil Keputusan

Emil Dardak Bupati Tergalek

JAKARTA, Liputanjatim.com Pertarungan untuk menentukan orang nomer satu di jawa timur makin memanas, pasalnya di pilgub Jawa Timur 2018 Menteri Sosial Khofifah Indar Parawangsa sudah menentukan pasangan untuk bersanding denganya menjadi bakal calon gubernur jawa timur. Ketua Muslimat NU itu berhasil menggaet Bupati Trenggalek, Emil Dardak dengan sokongan partai Demokrat.

Dengan demikian pasangan Khofifah-Dardak semakin bertaji usai didukung sebelumnya oleh Hanura, Nasdem dan Golkar.

Pengamat komunikasi politik dari Universitas Indonesia (UI) Dr Ari Junaedi mengaku terkejut dengan pilihan politik suami artis Arumi Bachsin itu mengingat PDIP telah memutuskan pencalonan Gus Ipul dengan Abdullah Azwar Anas.

“Sebagai putusan hak politik pribadi sah-sah saja tetapi secara etika politik, langkah Emil Dardak terkesan buru-buru, tidak sabaran serta tidak tahu arti prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak tercela di partai pengusungnya. Artinya Emil Dardak “mbalelo”dengan aturan di PDIP,” ujar Ari Junaedi,” Rabu (22/11/2017).

Menurut Ari, keberadaan pasangan Khofifah – Dardak secara matematis politik kurang bisa bersaing dengan potensi kekuatan Gus Ipul – Anas.

Baik Gus Ipul maupun Anas sudah hampir satu dasawarsa melakukan kerja-kerja politik yang nyata baik selaku wakil gubernur atau bupati Banyuwangi. “Berbeda dengan Dardak yang baru menjabat bupati Trenggalek sekitar 4 tahun terakhir. Spektrum politik Gus Ipul – Anas lebih bergema ketimbang Khofifah – Dardak.

Andai Khofifah dan partai-partai pengusungnya mampu menarik suara Muhammadiyah yang “kuat” di barat Jawa Timur seperti wilayah Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan Gresik maka Gus Ipul dan Anas akan menghadapi persaingan yang “ngeri-ngeri sedap”.

Sayang tokoh-tokoh potensial Muhammadiyah yang sukses jadi bupati tidak dipinang Khofifah seperti bupati Bojonegoro Suyoto atau mantan bupati Lamongan Masfuk.

Trauma kekalahan dua kali Khofifah di Jawa Timur, menurut Ari,menjadi handicap tersendiri.

“Umumnya calon yang sudah dua kali kalah tidak menjadi pilihan ideal para pemilih,” urai Ari Junaedi yamg juga dosen Pascasarjana di UI dan Universitas Dr Soetomo Surabaya ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here