LIPUTAN JATIM

Runtuhnya Kerajaan Medang, Taktik Balas Dendam Sriwijaya Lewat Pernikahan Putri Dharmawangsa

Relief Candi Borobudur yang menggambarkan serangan Raja Dharmawangsa Teguh terhadapa Kerajaan Sriwijaya pada 990 M/@intisari.grid

Liputanjatim.com – Kerajaan Medang berdiri sekitar tahun 929 M hingga 1016 M. Runtuhnya kerajaan ini disebabkan oleh serangan Sriwijaya ketika pernikahan Putri Dharmawangsa berlangsung. Serangan tersebut merupakan wujud balas dendam Sriwijaya terhadap kerajaan Medang.

Sebelumnya, kerajaan Medang telah melakukan serangan angkatan laut kepada Sriwijaya karna ingin menguasai jalur perdagangan di wilayah maritim tepatnya di Sumatera. Inilah yang menyebabkan Sriwijaya tak bisa berdiam diri, ia membalas balik serangan tersebut untuk meruntuhkan kerajaan Medang melalui pesta pernikahan Putri Dharmawangsa dan Airlangga.

Serangan yang dilakukan oleh Sriwijaya berhasil meruntuhkan kerajaan Medang. Tidak adanya penguasa tertinggi ini lantas mengakibatkan peperangan terjadi di setiap provinsi. Peristiwa keruntuhan Medang mengakibatkan pemukiman Jawa Tengan dan Jawa Timur membrontak dan ingin memisahkan diri dari kerajaan Medang, hingga terjadi kerusuhan dimana-mana bahkan kejahatan dan perampokan merajalela. Akhirnya jatuhnya kerajaan medang ini merusak situasi negara.

Sejarah Runtuhnya Kerajaan Medang oleh Sriwijaya

Dharmawangsa Teguh melancarkan serangan angkatan laut terhadap Sriwijaya yang berbasis di Sumatera, dalam upaya menguasai jalur perdagangan maritim yang kala itu di kuasai Sriwijaya, sekaligus untuk melumpuhkan kemampuan maritim Sriwijaya. Berita invasi Jawa ke Sriwijaya, ditulis dalam sumber-sumber Tiongkok dari periode Dinasti Song. Pada tahun 988, seorang utusan dari San-fo-tsi (Sriwijaya) dikirim ke istana Tiongkok di Guangzhou. Setelah tinggal sekitar dua tahun di Tiongkok, tersiar kabar bahwa negaranya telah diserang oleh She-po (Jawa) sehingga membuatnya tidak dapat kembali.

Pada 992 utusan dari She-po (Jawa) tiba di istana Tiongkok dan menjelaskan bahwa negara mereka telah terlibat dalam perang berkelanjutan dengan Sriwijaya. Pada tahun 999 utusan Sriwijaya berlayar dari Tiongkok ke Champa dalam upaya untuk kembali, namun ia tidak menerima kabar tentang kondisi negaranya. Utusan Sriwijaya itu lalu berlayar kembali ke Tiongkok dan memohon kepada Kaisar Tiongkok untuk melindungi Sriwijaya dari ancaman Jawa. Invasi Dharmawangsa mengakibatkan raja Sriwijaya, Sri Cudamani Warmadewa untuk mencari perlindungan dari Tiongkok. Di tengah krisis yang disebabkan oleh invasi Jawa, ia mendapatkan dukungan politik Tiongkok dengan memenuhi tuntutan Kaisar Tiongkok.

Pada 1003, sebuah catatan sejarah Dinasti Song melaporkan bahwa utusan San-fo-tsi yang dikirim oleh raja Shi-li-zhu-luo-wu-ni-fo-ma-tiao-hua (Sri Cudamani Warmadewa). Memberi tahu kepada Kaisar Tiongkok bahwa sebuah kuil Buddha telah didirikan di negara mereka untuk berdoa meminta umur panjang Yang Mulia Kaisar Tiongkok, dengan demikian meminta kepada Kaisar untuk memberikan nama dan sebuah lonceng untuk kuil yang dibangun untuk menghormatinya. Dengan gembira, Kaisar Tiongkok menamai kuil tersebut Ch’eng-t’en-wan-shou (‘sepuluh ribu tahun menerima berkah dari surga, yaitu Tiongkok) dan sebuah lonceng segera diberikan dan dikirim ke Sriwijaya untuk dipasang di kuil Candi Bungsu, Kompleks Candi Muara Takus, Kampar, Riau.

Setelah 16 tahun masa perang, Sriwijaya berhasil mengusir penjajah Medang dan membebaskan Palembang. Serangan Medang membuka mata Maharaja Sriwijaya tentang betapa berbahayanya musuhnya tersebut. Sebagai balasan ia berencana untuk membalas dan menghancurkan musuh besarnya itu, pada tahun 1016, atas dukungan Sriwijaya, Haji Wurawari memberontak pada kekuasaan Medang. Haji Wurawari adalah pemimpin wilayah bawahan pemerintahan Medang, pasukan Wurawari melancarkan invasi dari arah utara Lwaram untuk menghancurkan istana Medang yang saat itu tengah melangsungkan pesta pernikahan, serangan mendadak dan tak terduga ini terjadi selama upacara pernikahan putri Dharmawangsa dengan Airlangga, yang membuat pihak istana tidak siap dan terkejut yang berakibat pada peristiwa kematian besar raja beserta para kerabat raja di dalam istana.

Bencana ini dicatat sebagai Mahapralaya dalam Prasasti Pucangan, kematian dari raja Dharmawangsa serta hancurnya ibukota Wwatan di bawah tekanan militer Sriwijaya mengakhiri kerajaan Medang dan membuatnya jatuh dalam kekacauan karena tidak adanya seorang penguasa tertinggi, para panglima perang di setiap provinsi, daerah dan pemukiman di Jawa Tengah dan Jawa Timur memberontak, dan melepaskan diri dari pemerintahan pusat Medang untuk membentuk daerah otonom atau pemerintahannya sendiri, selanjutnya perampokan merajalela, kerusuhan, kekerasan dan kejahatan lebih lanjut terjadi beberapa tahun setelah kejatuhan Medang hingga merusak situasi negara.

Airlangga, adalah putra raja Udayana Warmadewa dari Kerajaan Bedahulu Bali dengan ratu Mahendradatta, Airlangga juga merupakan keponakan raja Dharmawangsa yang terbunuh di dalam istana serta sisa keluarga wangsa Isyana yang berhasil lolos bersama dengan putri Dharmawangsa dan melarikan diri ke pengasingan di hutan pegunungan Vana giri, Wonogiri di pedalaman Jawa Tengah. kemudian menuju Sendang Made, Kudu, Jombang. dalam pelarian dan pertapaannya Airlangga didatangi utusan rakyat serta mendapatkan dukungan dari kaum pendeta dan senopati yang masih setia untuk kembali membangun kejayaan Medang, pada 1019 Dia tampil dan mendirikan sebuah kerajaan baru dan dianggap sebagai kelanjutan dari Kerajaan Medang, dengan ibukotanya di Watan Mas yang terletak di sekitar dekat Gunung Penanggungan.

Exit mobile version