Liputanjatim.com – Tak terbantahkan, Stadion Kanjuruhan telah menjadi ikon Jawa Timur yang tak lekang oleh waktu. Namun, sedikit yang tahu bahwa nama megah itu mengungkapkan sejarah panjang sebuah kerajaan kuno yang pernah berjaya di tanah ini.
Kanjuruhan, yang kini menjadi nama stadion bergengsi di Kabupaten Malang, ternyata bukanlah sembarang kata. Ia merujuk pada Kerajaan Kanjuruhan, salah satu kerajaan tertua yang pernah berdiri di Jawa Timur.
Dengan penemuan arkeologis yang mengungkapkan situs-situs bersejarah, sejarah Kerajaan Kanjuruhan mulai terkuak. Hal ini dibuktikan dari kutipan laman Unkris bahwa Kanjuruhan merupakan sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa Timur, yang pusatnya berada di tidak jauh Kota Malang.
Kerajaan Kanjuruhan sudah berdiri pada zaman ke-6 Masehi, berdasarkan bukti tertulis dalam Prasasti Dinoyo. Bukti adanya raja yang memimpin adalah Gajayana, dengan peninggalan terkenalnya Candi Badut dan Candi Wurung.
Situs-situs peninggalan Kerajaan Kanjuruhan, seperti candi dan artefak-artefak berharga, kini menjadi bukti nyata kejayaan yang pernah dimiliki Jawa Timur. Nama “Kanjuruhan” yang diabadikan dalam stadion modern adalah penghormatan bagi sejarah yang tak boleh dilupakan.
Asal-muasal Kerajaan Kanjuruhan Malang
Kanjuruhan dikenal oleh masyarakat sebagai kerajaan yang makmur dan bebas dari bahaya. Lokasi kerajaan berada di antara Sungai Brantas dan Sungai Metro, tepatnya di dataran yang kini bernama Dinoyo, Merjosari, Tlogomas, dan Ketawanggede Kecamatan Lowokwaru.
Kanjuruhan merupakan salah satu kerajaan tertua di Jawa, berdasarkan bukti dari prasasti Dinoyo yang ditulis pada tahun Saka 682. Dalam prasasti itu disebutkan raja Dewa Singha, memerintah keraton Kanjuruhan yang amat luhur yang disucikan oleh api Sang Siwa. Raja Dewa Singha memiliki putra bernama Liswa, yang menggantikan ayahnya, dan kemudian mendapatkan gelar Gajayana.
Pada masa pemerintahan Raja Gajayana, Kerajaan Kanjuruhan berkembang pesat, rakyat merasa bebas dari bahaya dan sangat terlindungi. Jarang terjadi pencurian dan perampokan, sebab raja selalu berperan tegas sesuai dengan hukum yang berlangsung. Kekuasaan kerajaan ini meliputi daerah lereng timur dan barat Gunung Kawi, hingga pesisir laut Jawa.
Raja Gajayana memiliki seorang putri yang bernama Uttejana, pewaris tahta Kerajaan Kanjuruhan yang dijodohkan dengan seorang pangeran dari Paradeh bernama Pangeran Jananiya.
Pangeran Jananiya dan Permaisuri Uttejana lalu memerintah kerajaan warisan ayahnya ketika sang Raja Gajayana meninggal. Seperti leluhur-leluhurnya, mereka berdua berhasil memerintah dengan penuh keadilan.
Namun, kondisi tersebut berubah, ketika Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Tengah yang dipimpin oleh Sri Maharaja Rakai Pikatan Dyah Saladu memperluas wilayah kekuasaannya pada sekitar tahun 847 Masehi.
Raja ini terkenal tidak sewenang-wenang dan berhasil menguasai Kanjuruhan. Kerajaan Kanjuruhan ketika itu praktis dibawah kekuasaan Kerajaan Mataram Kuno. Meskipun kerajaan Kanjuruhan tetap memerintah di daerahnya, namun wajib melapor ke pemerintahan pusat.
Di dalam susunan pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno zaman Raja Balitung, Raja Kerajaan Kanjuruhan bertambah dikenal dengan sebutan Rakryan Kanuruhan, berarti “Penguasa daerah” di Kanuruhan.
Dengan susunan pemerintahan yang baru, maka kekuasaan seorang raja daerah tidak seluas ketika dijadikan kerajaan yang berdiri sendiri seperti ketika didirikan oleh nenek moyangnya dahulu.