Liputanjatim.com – Revisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib yang memberikan kewenangan lebih besar kepada DPR RI untuk mencopot pejabat negara memicu polemik di kalangan publik. Revisi ini dinilai kontroversial, terutama oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) Jawa Timur, yang menyatakan bahwa perubahan tersebut tidak tepat dan berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang.
Sekjen APHTN-HAN Jawa Timur, Dr. Hufron, SH, MH, menyampaikan kekhawatirannya dalam sebuah webinar nasional yang diselenggarakan bekerja sama dengan Universitas Wisnuwardhana. Menurutnya, pasal 228a yang disisipkan dalam revisi peraturan ini memperluas kewenangan DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang sudah melalui proses fit and proper test oleh DPR RI. Hal ini, kata Hufron, dapat mengganggu prinsip trias politica yang mengatur keseimbangan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif di Indonesia.
“Pasal 228a ini berpotensi memicu intervensi politik terhadap kekuasaan eksekutif dan yudikatif. Kami khawatir hal ini akan merusak sistem ketatanegaraan Indonesia, karena memberikan kewenangan lebih besar pada legislatif tanpa mempertimbangkan keseimbangan antar lembaga negara,” ujar Hufron.
Fenomena “Legislatif Heavy” yang Berbahaya
Selain itu, Hufron menambahkan bahwa perubahan ini berpotensi menciptakan fenomena “legislatif heavy,” yang menunjukkan adanya dominasi kekuasaan legislatif yang lebih besar daripada eksekutif dan yudikatif. Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia pasca-amandemen UUD 1945, prinsip presidensialisme diharapkan menjaga keseimbangan kekuasaan antara ketiga lembaga tersebut. Dengan adanya kewenangan baru DPR untuk mengevaluasi pejabat negara, apalagi yang sudah lulus fit and proper test, DPR dapat memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keputusan-keputusan penting yang diambil oleh lembaga negara lainnya.
“Pada masa Orde Baru kita mengenal istilah eksekutif heavy, di mana kekuasaan eksekutif jauh lebih besar. Namun setelah amandemen UUD 1945, sistem yang dianut adalah presidensialisme yang menekankan check and balance antara eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Revisi peraturan ini justru berisiko memperbesar peran legislatif tanpa memperhatikan independensi kekuasaan kehakiman,” jelas Hufron.
Independensi Kekuasaan Kehakiman yang Terancam
Salah satu contoh konkret yang disoroti oleh Hufron adalah potensi dampak dari evaluasi DPR terhadap calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Ia menegaskan bahwa calon hakim yang telah menjalani fit and proper test yang dilakukan oleh DPR seharusnya tidak terpengaruh oleh evaluasi lebih lanjut dari DPR setelahnya, karena hal ini dapat merusak kemandirian lembaga peradilan.
“Independensi kekuasaan kehakiman harus tetap dijaga. Seharusnya, setelah seseorang lulus fit and proper test, tidak ada lagi campur tangan dari DPR yang bisa memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil oleh lembaga peradilan, termasuk dalam pengangkatan hakim MK,” tambah Hufron.
Sebagai respons terhadap masalah ini, APHTN-HAN Jawa Timur telah membentuk tim untuk menyusun ringkasan hukum yang akan diajukan sebagai gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Tujuan dari langkah ini adalah untuk menguji konstitusionalitas dari revisi peraturan tata tertib DPR, khususnya terkait dengan kewenangan baru yang diberikan kepada DPR.
“Jika peraturan tata tertib ini diterapkan tanpa pengawasan yang tepat, maka akan ada risiko penyalahgunaan kewenangan. Oleh karena itu, kami menyarankan agar hak uji materiil diajukan ke Mahkamah Agung dan kami juga akan mengajukan gugatan ke PTUN,” pungkas Hufron.
Sementara itu, sejumlah pakar hukum tata negara yang hadir dalam webinar, seperti Dr. Haryono, SH, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, dan Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum, Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, turut menyuarakan keprihatinan yang sama terkait dampak dari perubahan tersebut terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Mereka mengingatkan bahwa kewenangan lebih besar bagi DPR dapat merusak keseimbangan kekuasaan yang selama ini telah dijaga dalam sistem pemerintahan presidensial di Indonesia.