Liputanjatim.com – Kerajaan Kahuripan merupakan kelanjutan dari kerajaan Medang. Kahuripan didirikan oleh Airlangga, setelah bertapa tiga tahun dari tragedi runtuhnya kerajaan Medang. Semangat Airlangga terbangun untuk mendirikan Kahuripan karna didatangi oleh utusan rakyat dan senopati pada tahun 1019. Berdirinya kerajaan Kahuripan ini juga didukung oleh para pedeta dari agama Hindhu, Budha, dan Mahabrahmana. Â Dari sini, Airlangga mulai memperluas wilayah kerajaannya. Perebutan kekuasaan wilayah ini awalnya Raja Airlangga kalah dari Ratu Dyah Tulodong, hingga berhasil menguasai hampir seluruh wilayah Jawa Timur bahkan Jawa Tengah.
Perluasan Wilayah Kahuripan
Sejak tahun 1029, Airlangga mulai memperluas wilayah kerajaannya. Peperangan demi peperangan dijalani Airlangga, satu demi satu kerajaan-kerajaan di Jawa Timur dapat ditaklukkannya. Namun pada tahun 1031 Airlangga kehilangan kota Watan Mas karena diserang oleh raja wanita yang kuat bagai raksasa. Raja wanita itu adalah Ratu Dyah Tulodong, yang merupakan salah satu raja Kerajaan Lodoyong di Tulungagung, Jawa Timur.
Dyah Tulodong digambarkan sebagai ratu yang memiliki kekuatan luar biasa. Salah satu peristiwa sejarah penting adalah pertempuran antara bala tentara Raja Airlangga yang berhasil dikalahkan oleh Dyah Tulodong. Pertempuran tersebut terjadi lantaran Dyah Tulodong berusaha membendung ekspansi Airlangga yang waktu itu sudah menguasai wilayah-wilayah di sekitar kerajaan Lodoyong. Bahkan di beberapa riwayat, diceritakan pasukan khusus yang dibawa Ratu Dyah Tulodong merupakan prajurit-prajurit wanita pilihan, pasukan ini bahkan berhasil memukul mundur pasukan Airlangga dari pusat kota kerajaannya Watan Mas, (Wotanmas Jedong, Ngoro, Mojokerto) di dekat Gunung Penanggungan hingga ke area Patakan (Sambeng, Lamongan, Jawa Timur).
Informasi dari situs budaya “Prasasti Kamalagean dusun Klagen, desa Tropodo, kecamatan Krian, kabupaten Sidoarjo Jaw” ini menjelaskan bahwa satu tahun kemudian di penghujung tahun 1032, Pasukan Airlangga dari arah utara bergerak ke selatan menuju wilayah Lodoyong. Dyah Tulodong berhasil dikalahkan oleh Airlangga lewat pertempuran sengit. Tidak lama kemudian Airlangga menuju ke arah barat, Raja Wurawari pun dapat dihancurkannya, sekaligus membalaskan dendam Airlangga dan wangsa Isyana. Raja Airlangga juga berhasil mengalahkan raja Wijayawarmman, raja terakhir yang masih belum tunduk pada bulan Kartika, tahun 959 Saka atau 10 November 1037 Masehi. Sejak saat itu wilayah kerajaan Airlangga mencakup hampir seluruh Jawa Timur. Airlangga juga memperluas wilayah kerajaan hingga ke Jawa Tengah, bahkan pengaruh kekuasaannya diakui sampai ke Bali.
Tahun 1032, menurut prasasti Terep, Airlangga membangun ibu kota baru di wilayah Janggala bernama Kahuripan yang berpusat di daerah Kabupaten Sidoarjo sekarang. Nama Kahuripan inilah yang kemudian lazim dipakai sebagai nama kerajaan yang dipimpin Airlangga, sama halnya nama Singhasari yang sebenarnya adalah nama ibu kota, lazim dipergunakan sebagai nama kerajaan yang dipimpin oleh Kertanagara.
Pada tahun 1037, dikeluarkan prasasti Kusambyan memuat informasi mengenai keraton “Madander” yang diperkirakan sebagai lokasi dari istana Airlangga yang terletak di sekitar Kabupaten Jombang. Lalu ketika memasuki tahun 1042, berdasarkan prasasti Pamwatan dan Serat Calon Arang di akhir masa pemerintahannya, Airlangga kemudian memindahkan ibukotanya ke Daha, Kota Kediri.
Pembangunan Kerajaan Kahuripan
Kerajaan Kahuripan ini wilayahnya membentang dari timur yakni Pasuruan hingga Madiun di barat. Daerah pantai utara Jawa, terutama Sidoarjo, Surabaya dan Tuban menjadi pusat perdagangan untuk pertama kalinya. Airlangga naik takhta dengan bergelar abhiseka (wisuda) Çri Mahãrãja Rakai Halu Çri Lokeçwara Dharmmawamça Airlangga Anãntawikramottunggadewa. Ketika itu, Airlangga dikenal atas toleransi beragamanya yaitu sebagai pelindung agama Hindu, Siwa dan Buddha. Airlangga juga menaruh perhatian terhadap seni sastra.
Tahun 1035, Mpu Kanwa menulis Arjuna Wiwaha yang diadaptasi dari epik Mahabharata. Kitab tersebut menceritakan perjuangan Arjuna mengalahkan Niwatakawaca, sebagai kiasan Airlangga mengalahkan raja Wurawari. Setelah keadaan telah aman, Airlangga mulai mengadakan pembangunan-pembangunan demi kesejahteraan rakyatnya. Pembangunan yang dicatat dalam prasasti-prasasti peninggalannya antara lain;
- Pada tahun 1036, Airlangga membangun Sri Wijaya Asrama, yang dibangun sebagai pusat pendidikan dan pengajaran keagamaan.
- Pada tahun 1037, berdasarkan prasasti Kamalagyan, Airlangga membangun bendungan Waringin Sapta untuk mencegah banjir musiman.
- Memperbaiki pelabuhan Hujung Galuh, yang letaknya di muara sungai Brantas, dekat dengan Surabaya sekarang.
- Membangun jalan-jalan yang menghubungkan daerah pesisir ke pusat kerajaan.
- Berdasarkan prasasti Pucangan, meresmikan pertapaan Gunung Pucangan tahun 1041.
Persaingan Perebutan Takhta antar Putra Airlangga
Menurut prasasti Turun Hyang (1044 M) pada akhir pemerintahannya tahun 1042, Airlangga berhadapan dengan masalah persaingan perebutan takhta antara kedua putranya, raja yang sebenarnya adalah putri Airlangga. Nama asli putri tersebut dalam prasasti Cane (1021 M) sampai prasasti Pasar Legi (1043 M) adalah Sanggramawijaya Tunggadewi, yang menjadi putri mahkota sekaligus pewaris takhta istana Kerajaan Kahuripan, namun dirinya memilih untuk mengundurkan diri dan menjalani kehidupan suci sebagai seorang pertapa biksuni dengan bergelar Dewi Kili Suci. Kemudian di tahun yang sama, berdasarkan prasasti Pamwatan (1042 M) dan Serat Calon Arang, Airlangga memindahkan ibukotanya dan mendirikan kota Dahanapura di wilayah Panjalu atau Kediri.
Sebelum turun takhta pada akhir November 1042, atas saran penasihat kerajaan sekaligus gurunya Mpu Bharada, Airlangga terpaksa membagi kerajaannya menjadi dua. Pertama, bagian barat yaitu wilayah Panjalu beribukota di Daha diberikan kepada Sri Samarawijaya. Kedua, wilayah bagian timur yaitu Janggala beribukota di Kahuripan diberikan kepada Mapanji Garasakan.
Setelah turun takhta, Airlangga menjalani hidup sebagai pertapa sampai meninggal sekitar tahun 1049. Menurut Serat Calon Arang ia kemudian bergelar Resi Erlangga Jatiningrat, sedangkan menurut Babad Tanah Jawi ia bergelar Resi Gentayu. Namun yang paling dapat dipercaya adalah prasasti Gandhakuti (1042 M) yang menyebut gelar kependetaan Airlangga adalah Resi Aji Paduka Mpungku Sang Pinaka Catraning Bhuwana.
Menurut prasasti Pasar Legi (1043 M), baik Airlangga maupun Sanggramawijaya Tunggadewi masih aktif menjalankan pemerintahan, mengikuti penyebutan gelar kependetaan Airlangga yaitu Resi Aji yang juga berarti sebagai raja pendeta. Hal ini dapat ditafsirkan bahwa Airlangga dan putrinya masih memegang kekuasaan tertinggi sekalipun hidupnya sudah terbagi dengan kegiatan non-d