LIPUTAN JATIM

Pencarian Film Dirty Vote Hilang, Pengamat: Bentuk Pembungkaman Demokrasi

Liputanjatim.com – Film dokumenter Dirty Vote yang tayang di YouTube, dan viral sehingga ditonton lebih dari 7 juta kali mendadak hilang dari kolom hasil pencarian.

Pengamat hukum asal Universitas Surabaya (Ubaya) Hesti Armiwulan heran dengan hilangnya film Dirty Vote dari kolom hasil pencarian platform milik Google itu.

Padahal, ia mengapresiasi karya film yang membongkar kecurangan proses pilpres 2024. Apalagi dibumbuhi data-data kongkrit yang membuka logika masyarakat dalam menentukan pilihannya.

“Film tersebut sesungguhnya adalah upaya untuk memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya menegakkan demokrasi dan rule of law di Indonesia,” kata Hesty, Selasa (13/2/2024).

Hesty menilai, hilangnya film Dirty Vote dari kolom hasil pencarian di Youtube adalah bentuk kesewenang-wenangan penguasa yang tidak menginginkan aibnya terbongkar ke ranah publik.

“Hilangnya akses pencairan film Dirty Vote di YouTube menunjukkan adanya kesewang-wenangan penguasa. Karena hakekatnya kebebasan berekspersi, kebebasan berpendapat merupakan esensi utama dari demokrasi,” jelasnya.

Ia beranggapan munculnya film tersebut mengusik pihak tertentu. Padahal muatan didalamnya merupakan fakta karena ada data yang sebetulnya bisa dipertanggungjawabkan.

“Ada pihak yang kebakaran jenggot atau menolak keberadaan film itu,” kata dia.

Memang sesaat setelah film Dirty Vote dirilis, ada beberapa pihak pendukung paslon 2 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka menyebutnya sebagai propaganda. Bahkan sebagian dari mereka menyiarkan bahwa film tersebut isinya fitnah.

“Fakta ini menunjukkan bahwa kebebasan berekspresi yang dijamin oleh UUD Negara RI Tahun 1945 tidak dapat dinikmati, bahkan penguasa mengkriminalisasi mereka yang menyampaikan suara yang berbeda dengan penguasa,” lanjutnya.

Dikatakannya, hilangnya film Dirty Vote dari kolom hasil pencarian Youtube menambah deretan daftar keculasan penguasa. Apalagi menggunakan hukum untuk mengkriminalisasi orang-orang tersebut.

“Praktek pembumkaman yang dilakukan menunjukkan bahwa mereka tidak memahami hakekat, Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis sekaligus sebagai negara demokrasi berdasarkan hukum,” paparnya.

Ia pun semakin yakin dengan pernyataan penutup Anies Baswedan dalam debat pertamanya “Wakanda No More, Indonesia Forever” sebagai realitas tingkah penguasa menggunakan alat negara untuk kepentingannya.

“Itulah realitas yang terjadi saat ini dimana orang takut bersuara bahkan ada yang tersandera. Sehingga menganalogikan Indonesia sebagai Wakanda,” pungkasnya.

Exit mobile version