Liputanjatim.com – Sekitar ribuan warga dari 10 desa di kawasan TNI AL, Kabupaten Pasuruan menolak rencana relokasi. Mereka menuntut pemerintah daerah proaktif menfasilitasi percepatan penyelesaian masalah yang telah bertahun-tahun itu.
Aksi penolakan ini disuarakan ribuan warga di depan kantor Bupati Kabupaten Pasuruan, Jalan Hayam Wuruk, Kota Pasuruan, Rabu (4/9/2019). Warga berasal dari Desa Alastlogo, Semendusari, Pasinan, Wates, Balunganyar, Tampung, Gejugjati, Jatirejo dan Baranang di Kecamatan Lekok dan desa Sumberanyar, Kecamatan Nguling.
Ribuan warga yang datang dengan menggunakan puluhan truk tersebut langsung menuju kantor Bupati. Mereka juga membawa poster-poster tuntutan dan ratusan bendera merah putih. Tidak hanya itu, para demontrans tersebut juga membawa 4 keranda sebagai simbol warga yang meninggal pada peristiwa 2007 silam.
Setibanya di kantor bupati, warga langsung menggelar sholawat dan mengibar-ngibarkan puluhan bendera. Mereka juga membaca puisi dan bergantian berorasi.
“Tarik kata relokasi di tanah itu kami dilahirkan juga akan dimakamkan. Kami akan berjuang sampai akhir, kami seperti orang asing di negeri sendiri,” kata seorang aktor.
“Aksi ini damai. Kami tidak akan anarkis dan merusak fasilitas negara. Hati-hati koordinator masing-masing desa, jangan sampai ada provokator,” teriak warga lainnya.
Lasminto, koordinator aksi mengatakan tiga poin tuntutan warga. “Pertama menuntut pemda menolak rencana relokasi oleh TNI AL di 10 desa; kedua menuntut pemda menghapus segala larangan dan kesewenangan TNI AL di atas tanah mereka; ketiga menuntut pemda proaktif memfasilitasi percepatan penyelesaian masalah yang telah berlarut sejak tahun 1960-an kepada pemerintah pusat,” tandasnya.
Sebelumnya, konflik bermula ketika PT Rajawali Nusantara menjalin kerja sama dengan Induk Koperasi Angkatan Laut untuk mendirikan perusahaan PT Kebun Grati Agung membuka perkebunan tebu.
Sebagian warga yang berada di sekitar pembukaan lahan tersebut merasa terancam mata pencahariannya ketika perkebunan tebu dibuka. Puncaknya, 30 Mei 2007, mereka bentrok dengan marinir yang tengah berpatroli menjaga lahan sengketa. Empat warga tewas tertembak dan tujuh lainnya luka-luka dalam insiden tersebut.
Kesewenang-wenangan marinir semakin menjadi tatkala warga keberatan akibat pemasangan pagar dengan kawat duri oleh TNI AL dalam rencana perluasan pembangunan di sekitar lahan sengketa pada Selasa (6/8/2019).
Untuk itu, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Sandrayati Moniaga menjelaskan Perpres mengenai reformasi agraria sebenarnya dapat dijadikan rujukan dalam pemecahan konflik tersebut.
“Pemerintah kan sudah mencanangkan perpres no 86 tahun 2018 tentang reforma agraria. Disitu ada pasal penyelesaian konflik. Dua bulan lalu juga sebenarnya ada rapat kabinet terbatas khusus percepatan penyelesaian konflik,” katanya.
Menurut catatan Komnas HAM, akar konflik lahan itu bermula saat pihak TNI AL mengklaim lahan dengan cara merampas paksa tanah warga di bawah todongan senjata pada dekade 1960-an.
Selanjutnya peristiwa salah tembak di lahan sengketa itu juga pernah terjadi pada 2 Juli 2019.
Sholihah, warga desa Semendusari, Pasuruan saat itu terluka pada bagian pelipis sebelah kiri yang diduga oleh warga akibat peluru nyasar dari kawasan sengketa yang digunakan TNI AL sebagai pusat latihan tempur.
Sementara itu, TNI AL menyangkal tuntutan warga sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kejadian salah tembak tersebut.