Liputanjatim.com – Anggota Komisi A DPRD Jatim Ubaidillah mendukung wacana pelaksanaa pemilu nasional dan lokal dipisahkan dan tak lagi melaksanakan pemilu serentak seperti yang dilakukan pada 2024.
“Saya sepakat dengan itu, agar energi tidak terlalu terkuras seperti sekarang,” kata Ubaid saat dikonfirmasi, Jumat (7/3/2025).
Diketahui, wacana pemisahan pemilu nasional dan lokal kini mengemuka di gedung DPR RI. Dalam gelaran rapat dengar pendapat antara Komisi II DPR RI dengan sejumlah pemerhati pemilu, wacana pemisahan pemilu nasional dan lokal menjadi diskusi hangat.
Banyak pemerhati pemilu yang mengeluakan pendapatnya terkait evaluasi pelaksanaan pemilu serentak 2024 lalu, seperti Peneliti Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Delia Wildianti, Ketua Program Studi Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Padjadjaran, Mudiyati Rahmatunnisa; Founder Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD) Dian Permata; dan Peneliti Senior Network for Democracy and Electoral Integrity Hadar Nafis Gumay.
Menurut para pemerhati pemilu ini, pelaksanaan pemilu serentak 2024 tidak mencapai tujuan utama yakni meningkatkan literasi pemilih, meski tingkat partisipasinya meningkat. Pendapat tersebut menurut Ubaid patut diperhatikan untuk mengkaji ulang sistem pemilu sehingga menghasilkan produk sistem yang ideal.
Menurut politisi PKB ini, hak memilih dan dipilih merupakan amanah UU dengan penyajian yang baik. Tidak seharusnya pemilih dibuat bingung sehingga hasilnya tidak mencerminkan kualitas demokrasi di Indonesia. Alasan tersebut yang membuat pihaknya mendukung pemisahan pemilu nasional dan lokal.
“Tapi intinya saya mendukung penuh wacana untuk memisahkan Pemilu lokal dan nasional,” ujar politisi muda tersebut.
Delia Wildianti menyampaikan, pelaksanaan pilpres, pileg, dan pilkada di tahun yang sama justru tidak mencapai tujuan utama, yakni meningkatkan literasi pemilih. Sebab, pemilihan serentak otomatis membuat banyak pilihan bagi masyarakat, terutama di level pemilihan legislatif.
Delia mengungkapkan, berdasarkan hasil studi Puskapol UI, pemilu serentak memang dapat meningkatkan partisipasi politik masyarakat. Namun, hal itu dinilai belum cukup untuk mencapai tujuan dari pemilihan serentak, yakni meningkatkan pengetahuan para pemilih.
”Pemilu menjadi sangat barbar dan itu dirasakan bukan hanya oleh kami, tapi peserta pemilu. Mereka justru merasakan bagaimana barbarnya tingginya biaya politik. Untuk mencalonkan diri sebagai caleg kabupaten kota saja, misalnya bisa Rp 5 miliar atau bahkan lebih,” ujar Delia.
Dengan permasalahan tersebut, pihaknya menawarkan solusi alternatif untuk desain keserentakan pemilu. Delia mengacu pada putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 di mana keserentakan dijalankan dengan memisahkan antara pemilu nasional dan pemilu lokal.
”Jadi pemilu nasional itu terdiri dari Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, DPR RI, DPD RI, dan pemilu lokal itu berkaitan dengan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota,” tutur Delia.
Pemisahan pemilu nasional dan lokal itu diyakini akan memperkuat sistem presidensial. ”Pemisahan nasional dan lokal ini bisa mencapai tujuan yang diharapkan dari pemilu serentak sebenarnya. Putusan MK Nomor 55 ini juga justru memberikan banyak varian yang itu tetap konstitusional. Putusan MK tersebut selebihnya dikembalikan kepada rekan-rekan di DPR untuk memutuskan karena bentuknya open legal policy,” kata Delia.