SURABAYA – Kemunculan penyakit polio baru-baru ini meningkatkan kewaspadaan berbagai pihak terhadap dunia kesehatan. Terlebih lagi, muncul varian baru polio yang merupakan hasil evolusi polio sejak berabad-abad lalu. Apakah benar penyakit polio telah mengalami evolusi?
Prof Dr Phil Toetik Koesbardiati, DFM PA(k), Pakar Paleoantropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR) itu memberikan keterangan. Ia mengatakan, polio sebenarnya sudah ada sejak lama dalam peradaban manusia. “Polio sejak zaman dahulu sudah terdeteksi di Mesir abad ke-16,” ujarnya, Rabu (7/2/2024).
Keberadaan polio, kata Prof Toetik, terbukti dari penggalian kuburan kuno di Inggris abad keempat. Saat itu terdapat penemuan sisa rangka manusia yang menurut dugaan menderita penyakit polio. “Ada tanda-tanda ketidaksimetrisan tungkai bawah dan patologi tulang punggungnya,” terang Prof Toetik.
Seiring perkembangan peradaban manusia, polio juga mengalami evolusi. Faktor yang memengaruhi evolusi ini antara lain adalah perubahan iklim global. “Perubahan iklim berpengaruh terhadap evolusi ini. Akibatnya, virus bermutasi dengan variasi ekologi,” tutur Guru Besar Paleoantropologi UNAIR itu.
Budaya dan cara hidup manusia yang terus berkembang dari masa ke masa juga berpengaruh terhadap evolusi penyakit polio. “Budaya itu terus berkembang sehingga membentuk masyarakat sekarang namun tetap sedenter. Perubahan ini berkaitan dengan temuan makanan, perkembangan hunian, dan ekspansi,” katanya.
Dengan kata lain, budaya hidup manusia terus berkembang seiring dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik. Akan tetapi, dampaknya, manusia lebih eksploitatif terhadap bumi sehingga mengakibatkan rusaknya ekologi termasuk pemanasan global. “Pemanasan global menjadikan banyak es mencair, membangkitkan banyak virus, bakteri, dan parasit. Contoh dampak mencairnya es dan munculnya patogen adalah ketika terjadi kasus Antraks di Siberia,” paparnya.
Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini? Selain situasi pemanasan global dan kerusakan ekologi yang terus terjadi, konflik global juga berpengaruh pada kasus polio. Situasi politik dunia yang semakin kacau menjadikan kasus polio cenderung meningkat pesat terutama di wilayah perang.
Situasi perang yang berdampak pada proses migrasi dan evakuasi penduduk juga akan melahirkan diskriminasi terhadap akses vaksin setiap negara. “Kemiskinan dan persoalan diskriminasi berpeluang untuk membatasi akses kesehatan termasuk vaksin,” ujarnya.
Sebagai langkah untuk mengatasi hal tersebut, Prof Toetik menilai perlu adanya pendekatan holistik. Pemerintah dan masyarakat perlu melakukan kolaborasi dalam menanggulangi infeksi penyakit ini. Itu semua, sambungnya, bisa dilakukan dengan memulai menerapkan hidup sehat, mencegah kerusakan lingkungan, dan menerapkan kerangka pikir kesehatan global. “Pendekatan holistik dalam kerangka pikir global health perlu diperhatikan. Mengingat polio bisa menyerang melalui mobilitas manusia dengan konteks lingkungan yang berubah,” katanya.