Oleh: KH. Imam Jazuli, Lc. MA
Liputanjatim.com – Berbicara warga Nahdliyyin sangat tidak mudah, terlalu banyak variabel di dalamnya. Gusdurian adalah variabel yang sangat penting, karena komunitasnya terdiri dari seluruh lapisan masyarakat, mulai akar rumput, cendikiawan, darah biru, sampai elit politisi. Mereka tergabung dalam satu naungan yang sama, kecintaan dan penghormatan pada Gus Dur baik sebagai pribadi maupun sebagai gagasan ideal.
Kecintaan sebagai pribadi tidak bisa kita perdebatan lagi, karena komunitas Nahdliyyin sejati mempercayai beliau sebagai seorang kiyai yang sekaligus seorang waliyullah. Keberkahan hidup beliau dibawa sampai mati. Donasi pada masyarakat dari hasil kunjungan ziarah kubur beliau sangat besar, bahkan melebihi kita yang masih hidup. Bagi publik yang tidak percaya hal mistik, setidaknya tidak dapat mengabaikan sumbangan/kontribusi materiil makam Gus Dur ini kepada umat.
Sebagai sebuah gagasan, Gus Dur adalah idealisme kebangsaan. Rasa cinta yang primordial dan melekat dalam lubuk sanubari Gus Dur mengalir kemudian manifes menjadi kebijakan-kebijakan politik. Kelompok minoritas mendapatkan hak-haknya, atas nama humanisme. Misalnya sensitifitas pada etnis Tionghoa, karena sudah sangat menyejarah, tidak lagi muncul di era kepresidenan Gus Dur. Bahkan kepada musuh satu-satunya, Jendral Purn. H.M. Soeharto, Gus Dur tidak menaruh dendam dan permusuhan.
Gus Dur sebagai sebuah gagasan dapat pula dimaknai sebagai “NKRI Berjalan”. Bagaimana wujud riil dari konsep persatuan kesatuan adalah figur Gus Dur itu sendiri. Periode kepemimpinannya walaupun singkat begitu sangat berharga. Hak kaum minoritas, antara lain, etnis Tionghoa betul-betul terpenuhi. Bahkan berani menyentuh aspek-aspek sensitif, seperti isu komunis dan Yahudi. Gus Dur ingin membuka jalur diplomatik dengan Israel, dan ingin mengembalikan mereka yang terusir karena dituduh berideologi komunis.
Gusdurian sebagai komunitas kultural mewarisi spirit ini. Gusdurian adalah sub-sistem dalam kehidupan sosial warga Nahdliyyin. Walaupun eksistensi Gusdurian tidak merepresentasikan seluruh komunitas Nahdliyyin, tetapi kekuatan massa Gusdurian sangat solid, besar, berpengaruh. Bertumpu kepada suara Gusdurian dalam rangka mewujudkan masa depan bangsa dan negara yang lebih baik adalah tindakan yang pantas dan tidak berlebihan.
Hanya saja, kelemahan Gusdurian adalah ruang lingkup gerakannya yang terbatas, yaitu gerakan intelektual dan kultural semata. Afiliasi politik Gusdurian tampak abu-abu. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana sikap politik komunitas Gusdurian terhadap PKB selama di bawah kepemimpinan Cak Imin. Bagi mereka, PKB ala Cak Imin dinilai berbeda dari PKB ala Gus Dur. Belakangan mulai muncul gejala-gejala ganjil yang menyiratkan bahwa Gusdurian ingin PKB kembali ke pangkuan tangan keturunan Gus Dur. Ini gagasan absurd karena ingin mengubah Gus Dur sebagai fanatisme ideologi menjadi fanatisme kekeluargaan.
Fanatisme kekeluargaan bukan tidak pernah terjadi di panggung sejarah. Fanatisme kekeluargaan dalam wujud paling kontemporernya dapat dilihat dari prestasinya mewujudkan Rovolusi Syi’ah di Iran. Kecintaan pada Ali bin Abi Thalib RA, melahirkan Syi’isme, dan Syi’isme melahirkan revolusi di Iran. Di bawah ideologi Syi’ah, Iran modern menjadi lawan tanding yang sepadan dari Amerika Serikat cs. Gusdurian tidak boleh menjelma serupa Syi’ah yang fanatismenya bukan ideologis, melainkan genetis.
Gusdurian perlu menyadari bahwa menjadi Gus Dur secara ideologis jauh lebih baik dari pada menjadi Gus Dur secara genetik. Sebab, siapapun yang berideologi Gusdurian, sekalipun tidak fanatik membela semua pemikiran keluarga Gus Dur, maka ia layak mewarisi gagasan perjuangan Gus Dur. Hal ini memang akan sangat abstrak bila tidak dicontohkan dalam kasus yang sensitif, seperti persoalan afiliasi politik kepartaian.
Hari ini kita tidak bisa menerima gagasan bahwa Gusdurian boleh tidak ber-PKB, sekalipun pengusungnya adalah keluarga Gus Dur sendiri. Karena mau tidak mau PKB adalah wujud kongkrit gagasan kebangsaan Gus Dur. Tetapi, sebaliknya, siapapun yang mendorong berafiliasi politik pada PKB, sekalipun bukan dari keluarga Gus Dur, ia tetaplah bagian dari Gusdurian. Dalam bahasa yang ekstrim, siapapun yang mencegah afiliasi politik pada PKB maka ia telah berkhianat kepada Gus Dur dan tak layak menyandang gelar sebagai penganut Gusdurianisme.
Hubungan Gus Dur dan PKB yang penting dipegang teguh oleh pengikut Gusdurianisme adalah “manhajul fikr assiyasi”, nalar politik Gus Dur. Sebagai sebuah manhaj, maka PKB adalah metode memahami alam pikir politik Gus Dur. Jika mau membaca pemikiran politik kekuasaan Gus Dur maka PKB wujud konkritnya. Jika mau berpolitik ala Gus Dur maka ber-PKB jalannya.
Ada ketidakmungkinan “nderek” Gus Dur tanpa “nderek” PKB. Gus Dur mengajak masyarakat Indonesia dan warga Nahdliyyin khususnya untuk melek politik melalui ketokohan dirinya. Pada mulanya Gus Dur mengajak pemberontakan terhadap otoritarianisme rezim orde baru. Ketika dirinya sudah mencapai puncak kekuasaan, beliau tidak mempertahankannya mati-matian. Karena tujuan utama Gus Dur bukan kekuasaan, melainkan kesadaran berpolitik umat.
Tidak merasa puas hanya dengan dilengserkan dari kursi kepresidenan, Gus Dur melatih kader baru yaitu Muhaimin Iskandar untuk melengserkan dirinya sendiri dari kekuasaan di level yang lebih kecil dari negara, yaitu level partai politik. Dengan begitu, sempurnalah pelatihan politik Gus Dur kepada warga Nahdliyyin khususnya dan bangsa Indonesia umumnya. Bahwa tidak ada kekuasaan yang perlu dipertahankan mati-matian walaupun tetap harus diperjuangkan semaksimal mungkin.
Dalam konteks perjuangan kekuasaan dan ikhtiar maksimal inilah, Gus Dur mendirikan PKB sampai berhasil meraih kedudukan sebagai presiden. Ini yang harus dipegang teguh oleh komunitas Gusdurian. Sebab, tantangan berikutnya bagi Gusdurian dan PKB sebagai anak-anak yang lahir dari rahim NU adalah berkolaborasi dan memikirkan bagaimana NU semakin besar dan kuat. NU yang kembali mengantarkan kader terbaiknya ke puncak kekuasaan, RI 1.
Tentu sebagai warga Nahdliyyin sejati, kita semua tidak bisa melupakan ejekan-ejekan dari non-Nahdliyyin pada paroh pertama abad 20. Saat itu NU diejek sebagai “Gajah Kena beri-beri”. “Gajah kena beri-beri” diartikan kala itu sebagai komunitas besar namun berpenyakitan. Komplotan besar yang tidak berkualitas. Jamaahnya besar namun tidak berkuasa. Karenanya, Gusdurian dan PKB di masa depan mendapatkan amanah dari NU untuk menjadikan ormas tercinta kita semua ini menjadi lebih besar, dengan kekuasaan politik yang tidak tertandingi. Hal itu tidak akan pernah tercapai apabila Gusdurian belum all-out untuk PKB.
Hari ini, kita menyaksikan bahwa Gusdurian belum all-out untuk PKB, sehingga berharap NU mencapai puncak kekuasaan masih jauh panggang dari api. Lihatlah, PKB belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan partai papan atas lain, PKB bertengger diurutan yang kesekian. Tampaknya, bukan saja Gusdurian yang belum all-out untuk PKB, tetapi NU juga belum. Kita tidak perlu heran bila menyaksikan dengan mata telanjang NU “merengek” mengemis kekuasaan paska Pilpres 2019 lalu.
Kembalinya Gusdurian ke dalam pelukan mesra bersama PKB ala Cak Imin adalah prasyarat mutlak bagi soliditas warga Nahdliyyin. Pilpres 2024 sudah sangat dekat. Kita sebagai warga Nahdliyyin ingin segera keluar dari label menjijikkan yang disematkan kepada NU sebagai “gajah beri-beri”. Jamiyah yang besar tetapi lemah tak berdaya, karena tidak punya kekuasaan. Dan ketika kekuasaan itu berhasil diraih, seperti saat Gus Dur menjadi presiden, periodenya begitu singkat. Karena warga Nahdliyyin belum begitu terlatih bermain politik kekuasaan. Tetapi, dengan bergabungnya Gusdurian ke PKB, maka cendikiawan Gusdurian kelak tidak akan mudah ditipu lagi oleh pihak manapun. Wallahu a’lam bis shawab.
Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.
Source: Tribunnews.com