Gatot Gugat Ambang Batas Pencalonan Presiden Jadi 0% ke MK

Gatot Nurmantyo

Liputanjatim.com – Mantan panglima TNI Gatot Nurmantyo menggugat syarat ambang batas pencapresan (presidential treshold) 20 persen ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gatot meminta MK menurunkan angka batas pencapresan sebesar 0 persen.

“Menyatakan Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat,” demikian bunyi petitum Gatot dalam berkas yang dilansir MK, Senin (13/12/2021).

Gatot rupanya tak sendiri, sebab kuasa hukum yang mendapinginya adalah Refly Harun. Menurut Gatot, dalam ilmu hukum secara teoritik prinsip ‘law changes by reasons’ dijadikan acuan dalam gugatannya tersebut.

Jadi ketentuan hukum bisa berubah jika alasan hukumnya berubah. Kondisi faktual Pemilu Presiden tahun 2019 di mana pemilih tidak mendapatkan calon-calon alternatif terbaik dan polarisasi politik yang kuat di antara anak bangsa, seharusnya sudah menjadi alasan yang kuat bagi Mahkamah untuk memutuskan bahwa presidential threshold tidak relevan lagi,” bebernya.

Pemohon mengutip pendapat Rizal Ramli bahwa praktiknya ketentuan presidential threshold telah memunculkan fenomena pembelian kandidasi (candidacy buying). Di mana dalam penyelenggaraan Pemilihan Presiden Tahun 2009, Rizal Ramli ditawari oleh salah satu partai politik untuk berkontestasi dengan diharuskan membayar Rp 1 triliun.

“Bahwa penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan (vide Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV-2017, 11 Januari 2018),” paparnya.

Menurut pemohon, seyogianya, persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy, sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Berdasarkan preseden putusan Mahkamah, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat:

(1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945; atau

(2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang.

“Ketentuan presidential threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden,” terangnya.

Menurutnya, dalam menafsirkan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 tidak akan terlepas dari penafsiran Mahkamah pada Putusan Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017, yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945, sehingga aturan presidential threshold disebut sebagai aturan yang bersifat open legal policy. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan pemberlakuan presidential threshold merupakan pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Secara konseptual penafsiran tersebut tidak tepat, karena ketentuan Pasal 6A Ayat (5) a quo berkenaan ‘tata cara’, sedangkan aturan presidential threshold merupakan salah satu syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, bukan tata cara pelaksanaan Pemilihan Presiden;

Menurutnya, dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal, seharusnya “syarat” pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945, khususnya Pasal 6 Ayat (2) yang berbunyi: “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”. Selain itu, menggolongkan presidential threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat.

Menurut pemohon, ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut:

1. diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta Pemilihan Umum;

2. diusulkan sebelum pelaksanaan Pemilihan Umum.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here