Liputanjatim.com – Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) menggelar Seminar Nasional pada (30/01/2025) bertajuk “Sinkronisasi dan Harmonisasi RUU Kejaksaan dan RUU KUHAP” di tengah polemik revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang telah disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Desember lalu. Acara ini dihadiri oleh para akademisi, praktisi hukum, serta ratusan peserta dari berbagai kalangan yang antusias membahas penyelarasan regulasi hukum di Indonesia.
Rektor UMM, Prof. Dr. Nazaruddin Malik, M.Si, dalam sambutannya menegaskan pentingnya peran akademisi dalam memberikan masukan konstruktif bagi kebijakan hukum nasional. Ia berharap seminar ini dapat menjadi wadah diskusi ilmiah yang memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan sistem peradilan di Indonesia.
Ketua Forum Dekan Fakultas Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM), Assoc. Prof. Dr. Faisal, S.H., M.Hum, mengawali seminar dengan membahas urgensi sinkronisasi antara RUU Kejaksaan dan KUHP. Ia menyoroti bahwa perubahan regulasi harus tetap berpegang pada prinsip keadilan dan kepastian hukum. “Penyesuaian regulasi kejaksaan dan KUHP adalah suatu keharusan untuk memastikan bahwa sistem peradilan pidana berjalan lebih efisien dan selaras dengan kebutuhan hukum yang berkembang,” ungkapnya.
Restorative Justice dan Kritik terhadap Peradilan Pidana Dekan Fakultas Hukum UMM, Prof. Dr. Tongat, S.H., M.Hum, dalam pemaparannya membahas konsep restorative justice sebagai pendekatan alternatif dalam penyelesaian perkara pidana. Ia mengkritisi sejumlah permasalahan dalam peradilan pidana, seperti prisonisasi, stigmatisasi, dan dehumanisasi. “Prisonisasi mengacu pada proses interaksi tersangka, terdakwa, dan terpidana dalam lembaga pemasyarakatan yang justru dapat memperkuat jaringan kejahatan. Sementara itu, stigmatisasi dan dehumanisasi membuat individu kehilangan hak-hak sosialnya akibat labelisasi sebagai pelaku kriminal,” jelasnya.
Tantangan Hukum dalam Kewenangan Kejaksaan Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Dr. Trisno Raharjo, S.H., M.H, menyoroti kebijakan hukum pidana dalam tugas kejaksaan RI. Menurutnya, kejaksaan harus tetap berpegang pada asas legalitas dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam setiap tindakannya. “Tugas kejaksaan dalam penegakan hukum harus selalu berlandaskan prinsip keadilan dan proporsionalitas agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang,” ujarnya.
Isu tumpang tindih kewenangan antara kejaksaan dan kepolisian turut dibahas dalam seminar ini. Prof. Dr. Deni S.B Yuherawan, S.H., M.S, dari Universitas Trunojoyo Madura, mengungkapkan bahwa dalam RUU KUHAP Pasal 6 disebutkan bahwa penyidik adalah pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu. “Ini berpotensi menyebabkan kejaksaan memiliki kewenangan penyidikan, yang dapat menimbulkan tumpang tindih dengan kewenangan Polri sebagai penyidik utama,” jelasnya.
Implikasi Perluasan Kewenangan Jaksa dalam RUU KUHAP Dalam sesi diskusi, seorang peserta bernama Aulia menanyakan dampak perluasan kewenangan jaksa dalam RUU KUHAP terhadap peran Polri. Menanggapi hal tersebut, Prof. Deni menegaskan bahwa tumpang tindih kewenangan dapat berdampak buruk pada sistem peradilan pidana di Indonesia. “Hak asasi manusia bisa terganggu jika kewenangan dalam sistem hukum tidak dibatasi secara jelas,” tegasnya.
Ia menambahkan bahwa hukum harus bersifat clear and precise, yaitu jelas dan tepat agar tidak menimbulkan ambigu. “Kewenangan harus limitatif. Jika tidak, kita justru akan terjebak dalam perebutan kewenangan yang tidak jelas arahnya,” tambahnya.