Dewas Gapasdap Soroti Polemik Omnibus Law Sektor Tarif Angkutan Penyeberangan

Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), Bambang Haryo Soekartono

Liputanjatim.com – Polemik penerapan Omnibus Law, utamanya menyangkut masalah tarif angkutan penyeberangan juga turut mendapat komentar dari Dewan Penasehat Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap), Bambang Haryo Soekartono.

Menurutnya, saling lempar tanggung jawab antara Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi dan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menjadi promblem utama molornya pembahasan tarif angkutan penyeberangan meski sudah dibahas lebih dari 1,5 tahun.

“Kemenhub sendiri sudah mengundur-undur evaluasi tarif penyeberangan hingga 1,5 tahun sehingga 3 tahun tidak pernah disesuaikan. Sekarang kembali terganjal di Menko Marves dengan alasan belum ada data untuk dikaji. Padahal, pelimpahan kajian di Kemenko Marves sudah berlangsung lebih dari 3 tahun,” ungkap Bambang, Surabaya, Selasa (28/1/2020).

Selain itu, Bambang menilai bahwa dua kementrian tersebut tidak profesional dan konsisten dalam menjalankan regulasi dan undang-undang.

Hal itu, menurut Bambang, diperparah dengan ketidaktahuan staf ahli Menko Maritim dan Investasi mengenai regulasi penyeberangan dengan dalih akan mengkaji kembali hasil rembukan Gapasdap dan Kemenhub.

“Pejabat yang merupakan Staf Ahli Menko Maritim dan Investasi itu mengaku tidak mengerti maritim dan baru pertama kali membahas soal penyeberangan. Dia bilang masih menunggu data sehingga belum bisa mengkaji usulan tarif dari Kemenhub,” ungkap Bambang.

Keterlibatan Menko Maritim dan Investasi mengenai evaluasi tarif penyeberangan, menurut Bambang, dikarenakan penerbitan Inpres No. 7/2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha. Hal itulah yang menjadi titik awal molornya regulasi tarif penyeberangan.

“Inpres yang harusnya untuk kemudahan usaha, kenyataannya mempersulit usaha dan perizinan. Kalau mengurusi satu sektor saja tidak beres, bagaimana mungkin pemerintah menjalankan Omnibus Law yang melibatkan ribuan regulasi sesuai kebijakan Presiden Jokowi,” terangnya.

“Menhub Budi Karya dan Menko Luhut saling pimpong, lempar tanggung jawab. Kemenhub bilang sudah serahkan semua data mulai dari awal tapi Kemenko Maritim dan Investasi mengaku tidak punya data. Dua instansi ini kelihatan tidak kompak, tidak profesional,” timpalnya.

Bambang menambahkan, Menko Luhut semestinya mempercepat penetapan tarif sesuai kebutuhan angkutan penyeberangan, dan bahkan harus menolak usulan Menhub untuk mencicil kenaikan tarif 38% dibagi tiga tahap selama 3 tahun karena menyangkut jaminan keselamatan dan kenyamanan transportasi.

Berdasarkan hitungannya, kenaikan tarif penyeberangan sekaligus sebenarnya dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap nilai komoditas barang yang diangkut kendaraan, yakni sekitar 0,15%. Artinya, komoditas beras seharga Rp 10.000 per kg kenaikannya berkisar Rp 15.000 per kg apabila tarif dinaikkan sekaligus 38%.

“Kenaikan harga itu mungkin relatif kecil, tetapi sangat besar artinya bagi kelangsungan usaha penyeberangan serta menjamin keselamatan nyawa dan barang publik. Ketidakpastian tarif mengancam keselamatan publik, berarti pemerintah melanggar UUD 1945 yang mengamanatkan negara untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,” tandasnya.  

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here