LIPUTAN JATIM

AS Senggol QRIS-GPN, Ekonom RI Angkat Bicara

Liputanjatim.com – Amerika Serikat (AS) kembali menyoroti kebijakan sistem pembayaran digital Indonesia, khususnya QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dan GPN (National Payment Gateway), melalui laporan National Trade Estimate (NTE) 2025.

Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran, Achmad Nur Hidayat, mengatakan kritik utama AS berkisar pada ketidakikutsertaan perusahaan asing, terutama dari Negeri Paman Sam, dalam proses pengembangan kebijakan tersebut. 

“Namun, di balik protes AS, Indonesia memiliki alasan kuat untuk mempertahankan QRIS sebagai bagian dari strategi kedaulatan ekonomi, keamanan data, dan inklusi keuangan,” kata Achmad, Selasa (22/4/2025).

Achmad menjelaskan, QRIS telah menjadi tulang punggung transaksi digital di Indonesia, dengan lebih dari jutaan merchant dan ratusan juta pengguna aktif pada 2025.

Di luar isu geopolitik dan kedaulatan, pembangunan sistem pembayaran domestik juga sangat rasional dari sisi efisiensi biaya. Sebelum GPN dan QRIS, transaksi yang menggunakan jaringan internasional sering kali dikenakan biaya tinggi karena harus melalui switching luar negeri.

Hal itu memberatkan konsumen dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), yang kini menjadi tulang punggung perekonomian nasional.

“Jika Indonesia menyerah pada tekanan ini, bisa jadi ini menjadi preseden buruk di mana kebijakan publik ditentukan oleh lobi korporasi, bukan kepentingan rakyat,” ujarnya.

Meski demikian, Achmad menilai Indonesia perlu tetap terbuka terhadap investasi dan kerja sama internasional.

Namun, menurutnya, keterbukaan itu harus diletakkan dalam kerangka yang tidak mengorbankan kepentingan nasional jangka panjang.

Achmad pun merekomendasikan sejumlah langkah bagi Bank Indonesia (BI) dan pemerintah dalam merespons kritik AS terkait QRIS.

Pertama, BI dapat membuka ruang konsultasi terbatas dengan perusahaan asing tanpa mengorbankan prinsip kebijakan.

Kedua, pemerintah perlu memperkuat diplomasi ekonomi untuk menjelaskan bahwa QRIS bukanlah hambatan, melainkan peluang kolaborasi.

Standar QRIS bisa dipromosikan sebagai model bagi negara berkembang lain, sehingga perusahaan AS yang ingin ekspansi ke Asia Tenggara harus beradaptasi dengan sistem ini.

Ketiga, Indonesia bisa mengadopsi pendekatan “interoperabilitas bertahap”. Misalnya, memastikan QRIS kompatibel dengan sistem pembayaran regional seperti SGQR (Singapura) atau PromptPay (Thailand) terlebih dahulu, sebelum melangkah ke integrasi global. 

“Langkah ini akan mengurangi kekhawatiran AS sekaligus memperkuat posisi tawar Indonesia di kancah internasional,” pungkasnya.

Exit mobile version