Liputanjatim.com – Gelaran Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-22 yang digelar di UIN Sunan Ampel Surabaya pada 2-5 Mei 2023 telah sukses diselenggarakan.
Gelaran ilmiah yang mengangkat tema ‘Recontextualizing Fiqh for Equal Humanity and Sustainable Peace’ ini dihadiri oleh ratusan akademisi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI).
Tak hanya itu, para ahli fikih dari kalangan pesantren dan cendekiawan muslim internasional juga turut hadir dalam kesempatan tersebut.
Terdapat sebanyak 180 paper pilihan yang dibahas dan terbagi menjadi 48 kelas paralel. Kesemuanya membawa spirit yang sama, yaitu Rekontekstualisasi Fiqh sebagai sebuah keniscayaan untuk mendukung prinsip kesamaan derajat kemanusiaan dan perdamaian yang berkelanjutan.
Termasuk pembahasan yang akhirnya melahirkan rumusan Surabaya Charter atau Piagam Surabaya sebagai hasil rekomendasi dari forum ilmiah tersebut.
Rumusan Surabaya Charter dibacakan Rektor UIN Sunan Ampel Surabaya Ahmad Muzakki pada penutupan AICIS 2023 di Auditorium UIN Sunan Ampel Surabaya, Kamis (04/05/2023).
Ahmad Muzakki menjelaskan, Surabaya Charter bertujuan menjawab sedikitnya tiga hal. Yaitu peran agama terhadap penyelesaian krisis kemanusiaan, fikih sebagai landasan peradaban untuk kesamaan derajat kemanusiaan, dan peran fikih sebagai sumber perdamaian antar agama.
Kemudian dirumuskan enam poin utama dalam rekomendasi piagam tersebut. Salah satunya adalah penolakan tegas terhadap praktek politik identitas.
“Menolak penggunaan agama untuk kepentingan politik. Fenomena politik identitas, khususnya yang berbasis agama, harus ditolak keras,” tegas Ahmad Muzakki.
Menurutnya, hal ini penting untuk dikedepankan menghadapi tahun politik yang sudah di depan mata. Pemilu harus dilaksanakan dengan santun dan berintegritas agar dapat melahirkan pemimpin yang adil dan jujur.
Adapun lima poin yang lain dari Surabaya Charter yaitu rekontekstualisasi semua doktrin dan pemikiran keagamaan yang tidak sesuai dengan prinsip martabat manusia, kedamaian, dan keadilan.
Kemudian menjadikan maqashid al-syariah (tujuan tertinggi hukum Islam) sebagai prinsip penuntun reformulasi fikih.
Ketiga, fikih harus didefinisikan ulang atas dasar integrasi pengetahuan Islam, ilmu sosial dan hak asasi manusia untuk mengatasi masalah kontemporer.
Lalu menafsirkan ulang semua doktrin fikih yang mengkategorikan dan mendiskriminasi manusia atas dasar agama atau etnis.
Dan terakhir memelihara keberagaman dalam hidup berdampingan yang toleran dan damai yang menerapkan prinsip moderasi, kesetaraan, dan keadilan beragama.