LIPUTAN JATIM

Agama Cyberspace: Spiritualitas Masyarakat Modern di Ruang Digital

Opini

Ilustrasi, Foto Istimewa

Oleh: Muhammad Alwi Hasan
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Liputanjatim.com, Opini – Cyberspace merupakan fenomena mutakhir sebagai dampak dari pesatnya dari perkembangan teknologi. Ia dianggap dapat melayani segala kepentingan manusia, yang bisa mengatasi keterbatasan manusia, dengan mengembara ke berbagai realitas tanpa batas. Segala sesuatu yang mustahil muncul menjadi mungkin. Lalu muncullah Euphoria, dan optimisme dalam menyambut era baru ini, yakni “Era Baru Digital” (Aep Wahyudi: 2011).

Di dunia mayantara alias dunia Cyberspace, manusia berada karena mereka mengarungi dunia informasi global interaktif yang bernama internet. Cyberspace sendiri pertama kali dikenalkan oleh William Gibson, yang membayangkan adanya dunia maya atau virtual dalam jaringan komputer yang mensimulasikan dunia nyata sehari-hari.

Cyberspace merupakan dunia artifisial atau dunia virtual, meskipun demikian cyberspace mampu mengalihkan berbagai aktivitas manusia dalam dunia nyata baik politik, ekonomi, kultural, spiritual, hingga seksual. Cyberspace menciptakan sebuah kehidupan yang dibangun sebagian besar oleh model kehidupan yang dimediasi secara mendasar oleh tekhnologi.

Meskipun dunia cyberspace dapat dimasuki manusia secara sadar, akan tetapi ia berbeda dengan dunia nyata atau dunia harian (everyday lifeword), yang merupakan dunia yang dibangun atas dasar kesadaran atau obyek-obyek nyata. Obyek-obyek dalam cyberspace, sebaliknya, adalah objek-objek tak nyata, yang ditangkap hanyalah sebuah wujud halusinasi (Yasraf: 2012).

Dengan demikian, cyberspace bukanlah dunia kesadaran atau bawah sadar. Melainkan dunia kesadaran, yang didalamnya seseorang mengalami sebuah ‘obyek’ di luar dirinya lewat mekanisme penginderaan (Gestalt). Akan tetapi pengalaman yang dialami oleh seseorang akan berbeda dengan dunia nyata. Dalam cyberspace  obyek-obyeknya terbentuk oleh komputer bit. Maka dari itu, arus kesadaran yang menangkap obyek-obyek nyata (termasuk manusia lain sebagai objek) dialihkan ke dalam kesadaran yang menangkap dunia ‘halusinasi’.

Perkembangan cyberspace yang begitu pesat, telah mempengaruhi kehidupan sosial di dalam berbagai tingkatnya. Tak terkecuali dalam spiritualitas, fenomena keberagaman atau spiritualitas memang sangat kompleks dan tidak dapat dijelaskan secara parsial lewat satu atau dua dimensi penjelasan semata. Karena ia bersifat melingkup dan holistik.

Dengan dimensi fungsi dan peran yang sangat luas (ritual, ,mental, sakral, gaib), memindahkan fungsi tempat ibadah dan segala aktivitas didalamnya ke dalam jagat virtual atau artifisial, tentu harus mempertimbangkan sifat total dan melingkupi dari tempat ibadah tersebut.

Fenomena tersebut, memunculkan terma baru yakni Religion Online, adalah mereka yang mengonsumsi kebenaran agama melalui ruang virtual, mencari hukum bukan lagi pada kitab-kitab dan ulama-ulama yang memiliki otoritas keagamaan yang shahih. Sehingga dalam memahami kebenaran agama sangat terbatas, berdo’a dan berinteraksi seolah Tuhan dan Holistik berada dalam ruang-ruang virtual Imajiner, Internet, Facebook, Whatsapp, Instagram, dan ruang-ruang lainnya.

Agama Dalam Ruang Cyberspace

Dalam konteks ini, memang penyebaran narasi keberagamaan dengan mudah diorbitkan dalam hitungan detik yang menyebar dari satu tempat ke tempat lain. Dunia digital saat ini telah memproduksi ide dan gagasan sehingga membentuk sebuah pemikiran yang tertanam dalam pemahaman masyarakat (Wildan Hefni: 2012).

Hal ini tentu menyebabkan otoritas keagamaan mengalami pergeseran berkat kolonialisasi informasi dan kelipatan kesadaran. Sebelumnya, otoritas keagamaan hanya dimiliki oleh para Ulama, Ustadz, Kyai, Mursyid, dan lainya. Namun saat ini otoritas keagamaan direngkuh oleh media baru yang tampak impersonal dan berbasis pada jejaring informasi.

Setidaknya ada tiga permasalahan mendasar terkait dengan narasi keberagamaan dalam ruang-ruang Cyberspace (virtual). Pertama, problem pemahaman agama. Media elektronik sangat terbuka dan bisa di akses oleh masyarakat umum tanpa batasan. Akibatnya terjadi pemahaman yang bias dan cenderung membenarkan satu kelompok dan menyalahkan kelompok lain (fanatisme agama).

Kedua, pergeseran otoritas keagamaan. otoritas keagamaan adalah persoalan yang selalu diperdebatkan. Namun, dalam konteks perkembangan dunia teknologi yang tak dapat di bendung, sering kali otoritas keagamaan bergeser dari personal (Ulama, kya, dan lainnya) ke impersonal.

Akibatnya, teks-teks keagamaan yang tersebar di ruang media virtual kehilangan orisinilitasnya, sehingga semua orang bahkan oknum-oknum yang berkepentingan dapat mengaku sebagai ahli dalam agama dan mengalahkan ulama dalam popularnya. Ini tentu tidak dibenarkan dalam kaca mata Islam, karena dalam mempelajari ilmu agama tentu harus melalui guru yang memilik sanad yang tsiqoh (terpercaya), agar ke aslian ajaran agama terjaga.

Ketiga, pola pikir dan perilaku masyarakat yang berlebihan (GhulIuw). Kegandrungan terhadap teknologi telah membawa masyarakat ke dalam ekstasi konsumerisme keagamaan. Akibatnya, masyarakat berlebih-lebihan atau ghuluw, ketika ada permasalahan di media yang bersinggungan dengan masalah agama.

Memang tidak semua spiritual yang berbasis virtual memiliki dampak negatif. Terdapat juga dampak positif yang di timbulkan dari spiritual digital, yakni seperti tahlil atau doa yang bisa di laksanakan secara virtual melalui Zoom Meeting, dan ngaji secara Virtual. Namun, kesemuanya itu merupakan Ibadah Ghairu-Magdah (Muamalah) saja yang dapat di virtualkan. Sedangkan Ibadah Maghdah (Murni), seperti halnya haji ataupun Shalat yang memiliki sifat Ta’budi atau Tauqifi. Tidak sah jika dilaksanakan secara virtual (cyberspace).

Sebuah Solusi

Cyberspace dapat dianalogikan sebagai sebuah amplifilier sosial, yaitu media yang mampu memperluas dan memperbesar cakupan, ruang, dan interaksi di dalam, di luar dan antar tempat sehingga membentuk kesatuan umat yang semakin kuat.

Namun, jika Cyberspace dikaitkan dengan dunia agama atau spiritual maka tentu akan memiliki dampak tersendiri bagi spiritualitas itu, salah satunya adalah problem pemahaman agama, pergeseran otoritas keagamaan, dan sikap berlebihan masyarakat (Ghuluw). Sedangkan dalam aspek positifnya tentu akan mempermudah umat dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berbasis Muamalah (sosial, ekonomi, politik), karena dengan adanya Cyberspace ruang yang selama ini terbatas dapat ditembus.

Akan tetapi jika dalam masalah spiritual yang sifatnya magdah (murni), seperti halnya sholat, haji dan lainnya, yang memiliki sifat Ta’abbudi dan tauqifi tentu tidak sah jika dilakukan secara virtual. Selain itu di dalam cyberspace tidak mampu menggantikan fungsi dan peran tempat ibadah yang nyata karena mempunyai dimensi yang lebih kompleks khususnya dimensi batin, ruh, akal, kesucian, sakralitas, ketuhanan, dan spiritualitas.

Exit mobile version