Sekolah Rakyat: Ambisi Khofifah yang Berpotensi Membebani Anggaran?

MEMIMPIN RAPAT - Gubernur Jatim, Khofifah Indar Parawansa (dua dari kiri) saat menghadiri rapat paripurna penyampaian visi-misi Bupati dan Wakil Bupati periode 2025-2030, Selasa (3/3/2025) malam di Pendopo Kongas Arum Kusumaning Bongso Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur.

OPINI, Liputanjatim.com – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa, dengan optimisme berlebihan menyambut program Sekolah Rakyat yang digagas oleh Menteri Sosial atas arahan Presiden Prabowo. Program ini diklaim dapat memberikan kesempatan pendidikan bagi masyarakat miskin dan miskin ekstrem, serta menyerap tenaga kerja baru.

“Kalau ini (Sekolah Rakyat) bisa dilakukan di Jatim akan memberi kontribusi bagi terciptanya lapangan sekaligus menyerap kerja baru. Sedangkan jangka panjangnya adalah untuk menyiapkan SDM.berkualitas menjemput Indonesia Emas 2045 ,” ujar Khofifah pada Senin (4/3/2025) dalam konferensi pers di Surabaya.

Namun, di balik retorika populisnya, ada banyak pertanyaan yang belum terjawab terkait efektivitas, efisiensi, dan dampak jangka panjang program ini terhadap anggaran daerah dan nasional.

Landasan Hukum dan Konsep Sekolah Rakyat

Sekolah Rakyat bukanlah konsep baru dalam sistem pendidikan Indonesia. Pada era Presiden Soekarno, Sekolah Rakyat merupakan jenjang pendidikan dasar bagi masyarakat kelas bawah yang kelak berkembang menjadi Sekolah Dasar (SD). Kini, di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, konsep ini dihidupkan kembali sebagai bagian dari program pendidikan inklusif untuk keluarga miskin dan miskin ekstrem.

Landasan hukum program ini merujuk pada:

  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang mengamanatkan pendidikan dasar sebagai hak setiap warga negara.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, yang menekankan pentingnya pemerataan pendidikan.
  • Instruksi Presiden terkait program pengentasan kemiskinan ekstrem yang menjadi prioritas pemerintahan Prabowo.

Menteri Sosial sebagai pelaksana program bertanggung jawab dalam perancangan serta alokasi anggaran, namun banyak pihak mempertanyakan efektivitasnya mengingat tugas utama Kemensos bukanlah dalam pengelolaan sistem pendidikan.

Proyek Sekolah Rakyat: Solusi atau Beban Anggaran?

Khofifah menargetkan agar setiap kabupaten/kota di Jawa Timur mendapatkan satu Sekolah Rakyat, dengan tambahan dua unit di tingkat provinsi. Jika skema ini berjalan, totalnya akan ada 40 sekolah dengan anggaran yang diperkirakan mencapai Rp4 triliun.

Namun, pertanyaannya adalah: dari mana sumber dana tersebut? Pemerintah pusat memang menjanjikan Rp100 miliar per sekolah, tetapi apakah dana ini hanya untuk pembangunan awal atau mencakup operasional jangka panjang? Jika hanya untuk pembangunan fisik, bagaimana dengan biaya pemeliharaan, gaji guru, kurikulum, dan fasilitas lainnya? Jika pemerintah daerah yang harus menanggung, apakah anggaran Jatim mampu menampung beban ini tanpa mengorbankan program lain yang lebih mendesak?

Kontradiksi dengan Kebijakan Efisiensi Anggaran

Pemerintah pusat, termasuk Presiden Prabowo sendiri, berulang kali menyuarakan efisiensi anggaran sebagai prioritas. Bahkan, berbagai program sosial dan infrastruktur dipangkas demi menekan defisit fiskal. Namun, di tengah kebijakan efisiensi ini, Khofifah justru mendorong proyek ambisius yang belum tentu efektif.

Sebagai contoh, pemerintah telah memangkas anggaran belanja kementerian dan lembaga sebesar Rp256,1 triliun dari alokasi awal Rp1.160,1 triliun. Kementerian Sosial mengalami pemotongan anggaran sebesar Rp1,3 triliun dari total pagu anggaran Rp79,5 triliun. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) juga mengalami pemangkasan anggaran sebesar Rp8 triliun, dari Rp33,5 triliun menjadi Rp25,5 triliun.

Tumpang Tindih dengan Program yang Sudah Ada

Khofifah mengklaim bahwa program ini akan meningkatkan akses pendidikan bagi masyarakat miskin. Namun, sebetulnya pemerintah sudah memiliki berbagai skema bantuan pendidikan yang jauh lebih efisien. Program Indonesia Pintar (PIP), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah berjalan dan terbukti membantu masyarakat miskin mendapatkan pendidikan tanpa perlu membangun sekolah baru.

Jika anggaran Rp4 triliun ini dialokasikan untuk peningkatan fasilitas sekolah yang sudah ada, peningkatan kualitas tenaga pengajar, dan penyediaan beasiswa bagi siswa miskin, maka dampaknya akan jauh lebih optimal. Dengan demikian, proyek Sekolah Rakyat tampak lebih sebagai ajang pencitraan politik Khofifah menjelang Pilpres 2029 daripada solusi nyata bagi pendidikan di Jatim.

Lahan 5 Hektare: Masalah Baru bagi Pemerintah Daerah

Salah satu syarat utama pembangunan Sekolah Rakyat adalah penyediaan lahan seluas 5 hektare oleh pemerintah daerah. Ini menjadi beban baru yang sangat berat bagi kabupaten/kota yang sudah kesulitan dalam hal pengelolaan aset.

Sebagai perbandingan, banyak daerah di Jatim yang masih bergulat dengan sengketa lahan untuk infrastruktur dasar seperti rumah sakit dan pasar. Jika pemerintah daerah dipaksa mencari lahan tambahan untuk Sekolah Rakyat, hal ini justru bisa menjadi bom waktu yang memicu konflik agraria dan pembengkakan anggaran pembebasan lahan.

Polemik Gaji Guru Honorer yang Belum Terselesaikan

Salah satu masalah fundamental yang terus menghantui sektor pendidikan di Indonesia, khususnya di Jawa Timur, adalah kesejahteraan guru honorer. Ribuan guru honorer masih menerima gaji jauh di bawah standar kelayakan. Bahkan, di beberapa daerah, mereka hanya mendapatkan Rp300.000 hingga Rp500.000 per bulan, jauh dari upah minimum regional.

Alih-alih membangun Sekolah Rakyat baru, mengapa Khofifah tidak fokus menyelesaikan masalah kesejahteraan guru honorer yang sudah lama terabaikan? Tanpa adanya jaminan kesejahteraan bagi tenaga pengajar, sekolah baru yang dibangun hanya akan menambah daftar panjang masalah pendidikan di Indonesia. Tidak ada gunanya membangun sekolah jika kualitas tenaga pendidiknya tidak diperhatikan. Ini justru bisa menambah angka ketimpangan sosial dan merugikan tenaga pengajar yang sudah bekerja keras tetapi tetap mendapatkan gaji rendah.

Dampak Ekonomi yang Diragukan

Khofifah mengklaim bahwa program ini akan menciptakan lapangan pekerjaan baru dan membantu menekan pengangguran. Namun, berdasarkan data BPS 2024, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Jatim berada di angka 4,19 persen, lebih rendah dibandingkan angka nasional yang mencapai 4,91 persen. Bahkan, TPT di Kabupaten Tulungagung hanya 4,12 persen. Ini menunjukkan bahwa masalah utama di Jatim bukanlah minimnya lapangan kerja, tetapi ketidaksesuaian keterampilan tenaga kerja dengan kebutuhan industri.

Kesimpulan: Proyek Politik yang Tidak Efisien

Program Sekolah Rakyat yang diamini Khofifah lebih terlihat sebagai proyek politik daripada solusi pendidikan yang efektif. Dengan adanya pemangkasan anggaran di sektor pendidikan dan sosial, membangun sekolah baru tanpa kepastian pendanaan jangka panjang hanya akan menjadi beban tambahan. Daripada membangun Sekolah Rakyat yang berpotensi mubazir, lebih baik dana yang ada dialokasikan untuk peningkatan fasilitas sekolah yang sudah ada, peningkatan kesejahteraan guru honorer, dan program pelatihan vokasi bagi masyarakat miskin. Jika tidak, proyek ini hanya akan menjadi mercusuar politik yang mengabaikan realitas kebutuhan pendidikan di Jawa Timur.

Oleh : Haris Febriansyah Rizani (Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Negeri Surabaya)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here