Haris Febriansyah R.
Liputanjatim.com – Ketika lagu “Oke Gas” menggema dalam kampanye pasangan Prabowo-Gibran pada 2024, masyarakat disuguhkan dengan optimisme dan semangat perubahan. Lagu tersebut menjadi simbol energi baru yang ingin dibawa pasangan nomor urut 2 dalam menghadapi tantangan bangsa. Namun, setahun setelah pemilu, slogan “Oke Gas” berubah menjadi ironi, seiring dengan antrean panjang masyarakat untuk mendapatkan gas elpiji 3 kg bersubsidi.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kebijakan pemerintah dalam memastikan kesejahteraan rakyat? Saat kampanye, janji untuk membawa Indonesia maju menjadi retorika yang membakar semangat pendukung. Kini, realitas di lapangan justru menghadirkan potret buram tentang kesulitan rakyat dalam memenuhi kebutuhan dasar mereka.
Tragedi di Tangerang Selatan, di mana seorang warga meninggal dunia akibat kelelahan saat mengantre gas, seharusnya menjadi alarm bagi pemerintah. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memang telah menyampaikan permohonan maaf dan menjanjikan penataan distribusi gas bersubsidi. Namun, permintaan maaf saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah langkah konkret yang segera diterapkan agar kejadian serupa tidak berulang.
Kebijakan perubahan status pengecer menjadi sub-pangkalan mungkin dimaksudkan untuk memperbaiki sistem distribusi. Namun, jika kebijakan ini justru menciptakan kelangkaan di tingkat bawah, maka yang terjadi bukan solusi, melainkan semakin bertambahnya masalah baru. Janji efisiensi pemerintahan dan kesejahteraan rakyat harus dibuktikan dengan tindakan nyata, bukan sekadar narasi yang terdengar manis saat masa kampanye.
Jika pemerintah tidak segera mengatasi masalah ini, kepercayaan publik akan semakin terkikis. Masyarakat yang sebelumnya mendukung penuh pasangan Prabowo-Gibran tentu mengharapkan realisasi dari janji-janji kampanye, bukan hanya sekadar simbolisme lagu atau slogan. Pemerintah harus ingat bahwa keberhasilan bukan hanya dinilai dari kemenangan di pemilu, tetapi dari bagaimana mereka mengelola dan memenuhi kebutuhan rakyat setelah berkuasa.
Mungkin ini adalah bagian dari visi besar yang belum kita pahami. Siapa tahu, dalam beberapa tahun ke depan, rakyat akan dibekali kemampuan bertahan hidup tanpa gas. Sebuah inovasi yang luar biasa! Namun sampai saat itu tiba, masyarakat tetap harus menghadapi kenyataan: bahwa janji kampanye memang bisa dinyanyikan dengan merdu, tetapi realitasnya belum tentu seindah lirik lagu.
Jadi, selamat datang di 2025! Tahun di mana “Oke Gas” tak lagi sekadar slogan, melainkan ujian kesabaran. Tahun di mana antrean menjadi bagian dari gaya hidup, dan rakyat yang bertahan adalah mereka yang paling kuat menghadapi absurditas kebijakan.