Liputanjatim.com – Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Muhammad Khozin meminta ketegasan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Nusron Wahid dalam menangani konflik agraria yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. Menteri ATR harus menyiapkan rancangan teknokratik berupa peta jalan (road map) untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Menurut Muhammad Khozin atu biasanya di panggil Gus Khozin, apa yang telah dilakukan Menteri ATR belum mampu menyelesaikan persoalan secara detail dan tuntas. Ia bahkan mengibaratkan, apa yang dilakukan Menteri ATR hanya sebatas menepihkan uap alias masih belum menyentuh akar persoalan.
Anggota DPR RI Dapil Jatim VI (Jember – Lumajang) ini yakin, kejadian pagar laut atau konflik agraria ini tidak mungkin dilakukan segelintir orang di tingkat bawah tapi ada keterlibatan oknum di tingkat Kabupaten atau Kantor Wilayah (Kanwil).
“Kejahatan di bidang agraria ini tak mungkin berdiri sendiri. Jangan sampai kemudian kita teriak mafia tanah tapi teryata satu di antara kita yang teryata menjadi mafia tanah,” kata Gus Khozin, jumat, (31/1/2025).
Oleh karena itu, ia meminta agar permasalahan pagar laut ini tidak selesai ketika pagar dicabut. “Tapi harus ada punishment yang tegas secara pidana maupun tuntutan secara profesi,” terangnya.
Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswi Al Khozini Jember ini mengatakan jika berdasarkan Pasal 33 ayat 3 UUD 1945, tanah air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. “Tapi dengan adanya pengklavingan pagar laut, rakyat yang dirugikan sedangkan segelintir penguasa yang diuntungkan. Ini tentunya bertentangan dengan UUD,” ungkapnya.
Pengklavingan sepihak yang menyebabkan konflik agraria ini terjadi di Kampung Tabak Kerbau, Desa gersik Putih, Kabupaten Sumenep, Madura, Jawa Timur. Ia mengatakan, sepanjang pesisir Kabupaten Sumenep telah disulap menjadi tambak dengan status Hak Milik (SHM). Masyarakat telah berupaya melakukan audiensi untuk meminta penjelasan ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). “Tapi jawaban yang diperoleh normatif karena dianggap telah sesuai dengan diajukan,” ujarnya.
Padahal, pesisir Kabupaten yang telah disulap menjadi tambak itu berpotensi terjadinya banjir rob. Kawasan itu dinarasikan sebagai daratan yang kemudian terjadi abrasi dan berubah menjadi laut sehingga bisa diklaim secara perorangan. “Saya yakin ini hanya letupan-letupan kecil yang terjadi. Tapi saya yakin, ini juga terjadi di daerah pesisir pantai di Kabupaten lainnya,” pungkasnya.
Ia meminta Kementerian terkait melakukan pengecekan kondisi pengklavingan tambak di Sumenep. “Dirjen harus turun ke lapangan. Jangan hanya sebatas menerima laporan apa yang di atas kertas karena permasalahan ini tidak bisa terakomodir dalam lembaran kertas,” tegasnya.
Terjadinya konflik agraria di beberapa daerah di Indonesia harus menjadi momentum untuk segera menyelesaikan permasalahan serta mencari tahu secara detail apa permasalahan dan melakukan tindakan jika terjadi penyalahgunaan. “Ibarat rumah kalau bocor jangan sibuk sediakan ember. Tapi cari tahu apakah ada genteng yang bocor atau mungkin plafonnya yang roboh,” tandasnya.