Liputanjatim.com – Pulau Jawa termasuk dalam kategori pulau yang memiliki banyak penduduk dan sebagian besar mereka memeluk agama islam. Mengenai hal tersebut maka tidak heran jika di pulau Jawa ini terkenal dengan adanya Wali Songo, maksudnya ialah Sembilan Orang Waliyullah. Mereka mendapat julukan “Wali” karena dianggap sebagai penyiar agama islam, dengan ketangguhan yang tinggi serta kesabarannya menyebarkan dan mengajarkan pokok-pokok agama islam di wilayah yang mereka tempati.
Selain sunan yang berjumlah Sembilan tersebut, ada juga berbagai tokoh penyiar agama islam di Jawa. Mereka dianggap sebagai Sunan, hanya saja mereka menyebarkan Islam disuatu daerah terpencil yang hal itu diakui oleh masyarakat sekitar. Salah satunya ialah R. Nur Rahmat atau terkenal dengan julukan Sunan Sendang yang berada di Desa Sendang Duwur Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan, Provinsi Jawa Timur.
Menurut Anom (1999:7) dalam karya ilmiah yang ditulis oleh Rachma Fairuza Rizka Fitri mengungkapkan secara etimologi, kata “masjid” berasal dari sebuah kata pokok dalam bahasa Arab, Sajada (tempat sujud) yang berarti patuh, taat, tunduk dan penuh hormat. Mengenai hal tersebut, maka di dalamnya terdapat kesederhanaan, akan tetapi memiliki ciri khas lokal yang terlihat jelas di setiap susunan-susunan bangunannya yang juga dimiliki oleh bangsa Indonesia. Bangunan ini tentunya di lindungi oleh pihak lembaga yang berwenang, karena bangunan tersebut salah satu aset kekayaan yang bernilai tinggi dan menarik baik bagi masyarakat lokal maupun masyarakat mancanegara. Salah satunya ialah masjid kuno yang terkenal dengan sebutan Masjid R. Nur Rahmat, namun masyarakat sekitar biasa menyebutnya sebagai “Masjid Sendang Duwur”.
Simbol Arsitektur Masjid, Makam dan Kompleks Sendang Duwur
Keunikan Masjid Sendang Duwur dapat dilihat bahwa masjid ini beratap tumpang, terdapat ruang bujur sangkar seperti joglo. Memiliki banyak tiang penyangga, tempat mimbar yang bercorak terkait budaya Hindu yang sudah di samarkan dalam islam, pintu masjid dengan Gaya ukiran Jawa dan Arab.
Di sekitar komplek Masjid Sendang Duwur tersebut juga terdapat bangunan yang berasitektur tinggi. Arsitektur ini menggambarkan akulturasi unsur budaya Hindu dan Islam yang masih kental, itu ditandai dengan adanya sebuah bangunan berupa gapura bentar, gapura paduraksa, masjid dan makam yang dinding penyangga cungkupnya dihiasi ukiran kayu jati yang bernilai seni tinggi dan sangat indah. Di dalamnya terdapat nisan dengan hiasan “Sinar Matahari” dengan ditengahnya terdapt huruf arab berupa “kalimat syahadat”, dari keterangan kalimat syahadat tersebut menandakan bahwa tempat tersebut ialah makam Sunan Sendang atau R. Nur Rahmat.
Komplek cagar budaya Sendang Duwur yang bertempat di puncak gunung amitunon atau bukit tunon ini merupakan sebuah bangunan yang sangat unik dan menarik dari segi arsitekturnya, karena di lingkup bangunan tersebut terdapat akulturasi unsur kebudayaan Hindu dan Islam. Bangunan yang ada terdiri dari gapura bentar, gapura paduraksa, masjid R. Nur Rahmat dan makam seseorang yang menyebarkan islam pertama kalinya di wilayah tersebut yaitu bernama R. Nur rahmat atau masyarakat pada umumnya menyebut sebagai sunan Sendang Duwur. Perpaduan budaya Islam dan Hindu menjadi satu terkait dengan bangunan-bangunan yang ada ini sehingga mewujudkan bukti bahwa akulturasi budaya tidak akan merusak atau menghancurkan budaya yang telah ada sebelumnya, akan tetapi lebih menjadikan adanya keragaman dalam kekayaan budaya.
Bangunan yang ada di komplek Sendang Duwur mempunyai simbol-simbol yang dapat dimaknai. Jadi, pemaknaan simbol yang berupa bangunan gapura ialah sebagai tanda masuk ke tempat sakral atau suci yang terdiri dari gapura bentar dan paduraksa. Di setiap bidang gapura tersebut terdapat ragam hias yang berfungsi sebagai hiasan dan memiliki tujuan untuk spiritual ataupun material. Simbol-simbol pada bangunan masjid R. Nur Rahmat ini bisa dilihat pada bidang dan bentuk masjid tersebut, salah satunya ialah bentuk atap tumpang bersusun tiga yang merupakan pengaruh Hindu, dan ada juga atap meru bangunan suci Hindu. Selain itu, disekitar bangunan makam R. Nur Rahmat terdapat berbagai motif bulan sabit yang berada di dinding ini memiliki nilai religius dan sakral.
R. Nur Rahmat mempunyai sebuah kata-kata mutiara dengan menggunakan bahasa jawa yaitu “mlakuo dalan kang lurus ilingo wong kang sakngurimu” yang artinya berjalanlah kearah yang benar kemudian jangan lupa orang-orang yang di setelah ini juga tetap dijaga sebagaimana kita bisa menjaga komplek cagar budaya tersebut. Maksud dalam hal tersebut ialah bahwa kita dalam menjalani kehidupan diharapkan dapat memberi hal positif baik bagi diri sendiri maupun kepada orang lain yang ada di sekitar kita dan harapannya komplek cagar budaya Sendang Duwur ini tetap terjaga kelestariaanya.
Terkait contoh bangunan komplek Sendang Duwur dapat dikatakan bahwa bentuk arsitektural khususnya bangunan merupakan produk dari suatu budaya karena memiliki dimensi fungsi sebagai wadah atau alat yang bermakna dalam kehidupan manusia. Arsitektur identik dengan suatu unsur kebudayaan yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumbuhan suatu suku bangsa. Budaya juga terbentuk karena adat istiadat dan tradisi yang berkesinambungan dan mengalami titik tumbuhnya sendiri-sendiri. Hal tersebut menjadi “genius loci” Nusantara. Kebudayaan adalah perpaduan antara hasil dari budi dan daya sehingga menjadi ideas. Idea adalah wujud dari kebudayaan yang sebagian besar terjadi dari berbagai ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan yang banyak hidup bersama dalam suatu masyarakat, dapat memberi jiwa pada masyarakat itu. Semuanya ini berkaitan dalam satu sistem, wujud pertama oleh para ahli antropologi sebagai sistem budaya (Cultural System), dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai adat-istiadat/tradisi.