Liputanjatim.com – Calon Presiden nomor urut 2 Prabowo Subianto menimbulkan kekhawatiran akan ‘matinya demokrasi’ karena keterkaitannya dengan diktator Suharto dan tuduhan kekejaman. Ia berusaha maju dikontestasi pilpres selama dua dekade terakhir yang memperlihatkan sisi politik demokratis.
Banyak yang khawatir akan kembalinya masa lalu yang kelam jika dia terpilih. “Yang akan terjadi adalah matinya demokrasi,” kata Hendardi, direktur Institut Demokrasi dan Perdamaian Setara.
Kemunculan Prabowo ini menimbulkan kekhawatiran mendalam di kalangan jutaan masyarakat Indonesia. Mereka masih teringat akan pemerintahan brutal dan kleptokratis era Suharto, yang juga merupakan mantan bos dan ayah mertua dari Prabowo. Keterkaitan keluarga ini menciptakan bayangan masa lalu yang suram, memicu pertanyaan dan ketidakpastian mengenai arah masa depan politik dan pemerintahan di Indonesia.
Menuju 14 hari sebelum pemilu, panorama politik Indonesia memperlihatkan dominasi Prabowo, seorang figur veteran berusia 72 tahun, yang unggul dalam sebagian besar jajak pendapat untuk putaran pertama dalam pemungutan suara. Keunggulannya semakin diperkuat oleh dukungan calon wakil presidennya, yang tak lain adalah putra sulung dari presiden Joko Widodo yang akan segera pensiun.
Kala itu banyak yang menentang Prabowo untuk menjadi Presiden Indonesia, namun sekarang ia mendapat dukungan dari berbagai pihak. “Kami sudah lama menentang Prabowo dan dengan kekuatan kami yang terbatas, kami masih bisa mencegahnya untuk maju. Tapi sekarang dia telah mendapatkan dukungan ini,” tambahannya.
Prabowo berupaya mengubah citranya sebagai politisi yang lebih moderat, namun masih terdapat kontroversi terkait hak asasi manusia. Ia menampilkan kepribadian yang berbeda dalam berbagai upaya untuk menjadi pemimpin Indonesia. Meskipun popularitasnya meningkat, kritik terhadapnya tetap ada.
Mantan Letnan Jendral TNI ini pernah memerintahkan penculikan aktivis pro-demokrasi. Ia dituduh melakukan kekejaman selama pendudukan militer yang kejam di Timor Timur. Ia juga mengatakan pemilu bertentangan dengan budaya negaranya.
Hal ini dibuktikan oleh Ucok Munandar Siahaan, seorang pelajar berusia 21 tahun ketika dia menghilang pada tanggal 15 Mei 1998. Ayahnya, Paian Siahaan, 76, kemudian mengetahui bahwa dia telah membantu aktivis anti-pemerintah yang ditahan. Selama beberapa dekade, ia telah mendesak pihak berwenang untuk mendapatkan jawaban.
Setiap malam, Pak Paian mengucapkan doa yang sama. “Tuhan, tolong selamatkan dia,” Dalam beberapa bulan terakhir, ia menambahkan satu hal lagi bahwa Pak Prabowo tidak akan menjadi presiden. “Dalam pikiran saya, dia tidak akan terpilih karena doa kami, doa orang-orang yang tertindas,” ujarnya.
Pada tahun 2014, ia menampilkan dirinya sebagai orang kuat dibidang militer, meneriakkan pidato-pidato nasionalis, namun kalah dari Joko Widodo. Lima tahun kemudian, Prabowo menggambarkan dirinya sebagai seorang Muslim yang taat dan mengandalkan omongan komunal, sambil menuduh Jokowi diam-diam sebagai “Kristen Tionghoa,”.
Lagi-lagi ia gagal dalam kontestasi pilpres yang ke-2 baginya. Prabowo mengklaim bahwa ia adalah korban kecurangan pemilu dan mengumpulkan kelompok Islam garis keras untuk memprotes hasil demonstrasi jalanan yang penuh kekerasan.
Demi menuruti ambisinya, Prabowo tetap mencalonkan diri untuk ketiga kalinya sebagai calon presiden pada pilpres tahun ini. Dalam kampanyenya, ia mencoba menghilangkan reputasinya sebagai orang yang mudah marah dengan menggambarkan dirinya sebagai seorang kakek gemoy, imut, yang menari di tempat umum. Ia juga telah memenangkan dukungan dari Jokowi dengan menunjuk putranya, Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangannya. Baliho di seluruh Indonesia menampilkan kartun Prabowo yang buncit dan gemuk bersama Gibran.
Menteri Pertahanan yang mengikuti kontestasi pada pilpres kali ini tidak bisa memberikan komentar, kata Budiman Sudjatmiko, wakil ketua dewan penasehat tim kampanye Prabowo-Gibran, yang pernah menjadi kritikus keras terhadap Pak Prabowo. Calon presiden tersebut, katanya telah “belajar banyak” dari Joko Widodo dan para pendukungnya.
“Dia tidak lagi bertugas di militer, jadi dia harus berperan sebagai politisi sipil, mudah dijangkau, mudah diakses, dan lebih ramah,” kata Budiman yang merupakan tahanan politik di bawah rezim Suharto.
Perubahan ini mendapat perhatian di kalangan generasi muda Indonesia, yang merupakan kelompok pemilih terbesar di negera ini. Orang-orang yang berusia di bawah 30 tahun tidak tumbuh besar di bawah pemerintahan Suharto, dan banyak dari mereka yang hanya mengetahui sedikit tentang kengerian rezim Suharto karena hal-hal tersebut tidak tercakup dalam buku-buku pelajaran di negara ini.
Bagi seorang pemilih pemula berusia 21 tahun yang pernah melihat video Prabowo di TikTok, “Dia sosok yang lucu dan humoris. Dia juga tampak baik dan baik hati.” komentar Defi Afra.
Ia yang merupakan seorang mahasiswa di kota Yogyakarta, mengatakan bahwa dia baru mengetahui masa lalu Prabowo melalui media sosial. Namun dia mengabaikannya dan berkata, “Dia tidak bisa menolak perintah dari atasannya,” akhir dari komentarnya.
Sumber : nytimes.com