SURABAYA – Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) baru saja menetapkan kuota rekrutmen CPNS 2024 sebanyak 2,3 juta formasi. Pembukaan jutaan formasi itu bertujuan untuk memenuhi kebutuhan ASN (Aparatur Sipil Negara) yang kompeten dan terampil sesuai perkembangan zaman.
Pembukaan jutaan formasi CPNS tentu menjadi angin segar bagi sebagian masyarakat. Meski demikian, tidak sedikit pula yang menganggap rekrutmen CPNS kali ini sarat akan isu politik jelang pemilihan umum (Pemilu). Terkait hal tersebut, Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga Gitadi Tegas Supramudyo menuturkan, jangan ada campur tangan politik dalam setiap rangkaian rekrutmen.
“Ini tidak perlu banyak gembar-gembor, ya. Jika terekspos berlebihan, kita bisa saja membaca ini sebagai kepentingan politik pemilu yang ingin menarik perhatian para pencari kerja,” katanya, Jumat (26/1/2024).
Alih-alih memperbanyak formasi CPNS, Gitadi menilai pemerintah perlu kembali pada grand design rekrutmen CPNS sebelumnya. Gitadi menjelaskan, dalam proses rekrutmen CPNS, sebaiknya pemerintah menengok kembali pada grand design kebijakan zero growth maupun minus growth pada masa lalu.
Minus growth adalah jumlah penerimaan pegawai baru lebih sedikit daripada pegawai berhenti berdasar pada skala prioritas. Sementara itu, zero growth berarti kebijakan penerimaan pegawai dengan jumlah yang sama dengan pegawai berhenti.
“Zaman dulu kita mengenal kebijakan zero growth. Sederhananya, satu meninggal angkat lagi satu. Kemudian, karena menjadi terlalu banyak di bagian tertentu, maka kebijakannya berganti minus growth. Misalnya, meninggal satu dan pensiun satu, pengangkatan tetap satu,” kata Gitadi.
Gitadi melanjutkan, pengangkatan ASN sesuai prioritas dan kebutuhan itu bertujuan untuk meningkatkan kinerja birokrasi dan kesejahteraan pegawai. “Ini tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan ASN. ASN bisa mendapatkan gaji lebih baik karena pemerintah tidak harus banyak menggaji pegawai,” katanya.
Lebih lanjut, Gitadi menyayangkan sistem rekrutmen CPNS yang kadang terkesan kurang transparan, baik dalam hal kriteria maupun data kebutuhan. Ia menilai, perlu ada transparansi kebutuhan sehingga sistem rekrutmen berjalan secara sehat dan terbebas dari upaya prasangka KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme).
Menurut Gitadi, transparansi menjadi aspek penting sebab seringkali rekrutmen CPNS tidak sesuai sasaran. “Misalnya, ada banyak sekolah yang kekurangan murid, masa mau ada penambahan guru? Demikian halnya dengan perekrutan banyak tenaga kesehatan yang terkadang tidak jelas parameternya, sehingga perlu keterlibatan pihak-pihak yang lebih kredibel dan cukup independen,” ujarnya.
Oleh karena itu, kata Gitadi, pemerintah perlu melakukan inventarisasi dan pemetaan sesuai kebutuhan setiap daerah maupun kementerian dan lembaga. Dengan demikian, rekrutmen CPNS tersebut dapat lebih tepat, objektif, dan berjalan lebih sehat. “Jadi, kebutuhannya harus riil dan objektif. Tujuannya untuk mengeliminasi dugaan adanya formasi karena adanya titipan atau permintaan karena sudah ada kandidat atau ada kedekatan dengan tertentu,” tuturnya.
Gitadi kembali menekankan bahwa rekrutmen CPNS harus bersih dari KKN dan politik dinasti. Jika tidak, ketidakpercayaan publik serta stigma buruk terhadap rekrutmen ASN akan terus meningkat. “Ini kan berkaitan dengan budaya nepotisme dan politik dinasti yang sebenarnya masih jadi bagian integral dari bangsa Indonesia,” katanya.
Pada akhir, ia juga mengimbau agar rekrutmen pekerjaan apa pun terbebas dari campur tangan politik. Oleh karena itu, perlu ada struktur rekrutmen yang kredibel dan independen. Hal itu bertujuan untuk menghilangkan ketidakpercayaan publik yang selama ini telah terbangun akibat sistem yang tidak transparan.
“Saya rasa jangan ada campur tangan politik terlalu kuat. Keterlibatan institusi atau struktur kredibel dan independen ini adalah sebuah keniscayaan. Kalau tidak, public distrust akan meningkat karena sistem rekrutmen yang terkesan masih ada agenda-agenda tersembunyi,” tegasnya.