Feminisme, HAM dan Dimensi Islam dalam Perspektif

Oleh: Jennie Nabilah

Liputanjatim.com – Perempuan adalah bagian dari manusia, memiliki hak natural sebagai makhluk hidup untuk berperan diparuh peradaban. Bertolak arah, perempuan masih terkurung dalam paradigma marjinalisasi atas subordinat laki-laki atau dikenal dengan istilah patriarki. Stigma tersebut berpangkal pada kesenjangan gender sejak masa silam, berakibat menciderai Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan dalam memilih, menjalankan, dan membangun eksistensinya.

Sejarah merekam marjinalisasi hak-hak perempuan dalam berbagai aspek. Segi politik, ekonomi, pendidikan, sosial-budaya, dan masih banyak lagi. Fenomena tersebut membuat perempuan direnggut ruang geraknya. Namun, sejak abad ke-18 mulai mencuat perjuangan hak perempuan di kancah politik. Peristiwa tersebut direkam dalam buku “A Vindication of The Rights of Woman” karangan Mary Wollstonecraft (Ni Komang. A. S, 2013). Hal sejenis berpangkal pada perlawanan terhadap inferioritas perempuan, membuat gerakan-gerakan feminisme bermunculan. Feminisme dinilai sebagai serangkaian gerakan mencapai kesetaraan gender dalam berbagai aspek kehidupan guna kesejahteraan umum. Hingga abad ke-20, perempuan mulai berani menyuarakan haknya.

Rekam religiusitas Islam juga menukil kejamnya bias gender. Doktrin tersebut dapat diamati dari pergeseran paradigma antara era pra-Islam dengan sesudah Islam. Pra-Islam menjadi luka bagi perempuan. Pasalnya, perempuan dianggap sebagai aib yang marjinal, lemah, dan inferior. Tentu hal tersebut berasal dari maskulinitas laki-laki yang merabung. Imbas kondisi sosial tersebut, perempuan dianggap sebatas objek yang tidak berharga, hingga berujung pada perbudakan seksual. Begitu juga situasi Indonesia sekitar 1500 SM, zaman Hindu-Budha memiliki tradisi menikahkan perempuan layaknya objek tanpa hak atas kehidupannya sendiri. (Ade. I. S & Dessy. H. S. A, T.T)

Setelah abad ke-20 hingga kini, feminisme mulai mendapat tempat di masyarakat dan membawa angin segar bagi perempuan. Kedatangan Islam turut menjadi acuan HAM bagi kesetaraan gender. Meskipun tidak sedikit pula doktrin kuno patriarki tetap mengakar dalam stigma masyarakat, bahwa perempuan hanyalah makhluk marjinal yang tidak memiliki vokal. Doktrin tersebut dapat ditemukan dalam lingkup organisasi di sekolah atau struktur kepemimpinan suatu lembaga. Sering terdengar, “Yang menjadi ketua laki-laki saja, lebih gagah.” Pengalaman tersebut dirasakan beberapa perempuan, maka secara langsung dapat mempersempit haknya sebagai individu yang berhak dipilih dengan kapabilitas yang memadai. Sehingga, mitos sosial yang masih mengakar dapat mengakibatkan kesenjangan sosial.

Saat ini, sebagian masyarakat masih terdapat pandangan bahwa perempuan hanya berhak berkecimpung dalam pekerjaan domestik rumah tangga, seperti mencuci, menyapu, memasak, dan sejenisnya. Hal tersebut tentu mencuri HAM perempuan sebagai manusia seutuhnya. Beberapa hal seperti perempuan yang berkarir di lapangan kerja dan berpendidikan tinggi dianggap sebagai sesuatu yang tidak sepatutnya melekat pada diri perempuan. Padahal mendapat kehidupan dan pendidikan yang layak adalah jaminan hak bagi manusia oleh negara yang telah diatur dalam Undang-Undang Pasal 31.

Hal serupa ditemukan dalam lingkup rumah tangga. Kemiringan konsep bahwa suami adalah pemimpin yang memiliki hak otorisasi penuh membuat istri dipadamkan hak bicaranya. Sehingga perintah buruk dari suami sekalipun, terpaksa diafirmasi oleh istri akibat subordinasi suami yang melampaui ukuran HAM. Peristiwa itu berimbas pada kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan. 

Seperti data yang dilansir pada Komisi Nasional Perempuan, setiap tahunnya sebagian besar kasus kekerasan terhadap perempuan berasal dari laporan Pengadilan Agama, artinya KDRT. Kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2020 sebesar 299.911 kasus, terdiri dari Pengadilan Agama sejumlah 291.677 kasus, lembaga layanan mitra KOMNAS Perempuan 8.234 kasus, Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) 2.389 kasus, dengan catatan 2.134 kasus merupakan berbasis gender (KOMNAS Perempuan, 2021). Rekaman lain menunjukkan data KOMNAS Perempuan bahwa sepanjang 2004-2021 tercatat terdapat 544.452 kasus KDRT (KOMPAS.com, 2021).

Fatalnya dapat mewabah ke lingkup masyarakat umum seperti pelecehan seksual. Akhir-akhir ini, ketika bermain media sosial atau menjelajah pada jejaring berita, sering ditemukan kabar kasus pelecehan seksual. Kasus tersebut sering dilakukan oleh orang yang memiliki pengaruh lebih besar dibanding korbannya yang didominasi perempuan. Salah satu faktor terbesarnya adalah pelaku merasa dirinya maskulin dan menganggap lemah korban atau dapat dikatakan berangkat dari bias gender. Segala fenomena yang dipaparkan membuktikan bahwa feminisme untuk kesejahteraan kesetaraan gender perlu diteguhkan. Sebab, dijaranya feminisme dapat membuat salah satu gender mengalami paksaan beban ganda, perlakuan menomorduakan salah satu gender, stigma negatif, dan marginalisasi terhadapnya. Hal tersebut berimbas melukai HAM korban.

Islam lahir berupaya menetralisir kesenjangan gender dan menjadi keyakinan yang dikenal sebagai media moderasi sosial yang turut andil dalam menyetarakan HAM. Peradaban mencatat peranan Islam dalam meregulasi tatanan masyarakat. Sehingga setelah kedatangan Islam membuat kedudukan perempuan mulai dihargai. Perempuan kian didengar suaranya. Regulasi tersebut dikenal dengan feminisme dalam perspektif Islam.

Nilai-nilai di dalam Islam diyakini sebagai media bantu menstabilkan ketimpangan gender. Sebagai agama yang peduli terhadap keseimbangan hidup, tentu Islam turut menjaga kesejahteraan umum, termasuk HAM dalam feminisme.

Dimensi Islam begitu universal, membuktikan sebagai identitas religi yang peduli terhadap keseluruhan makhluk dan semesta sebagai persinggahannya. Beragam kajian dalam perspektif Islam terus bermunculan untuk mendamaikan manusia beserta lingkungan menggunakan dasar Al-Qur’an dan Hadis. Hal tersebut mendorong para ulama mengkaji lebih dalam Al-Qur’an dan Hadis dengan metode qiraah mubadalah.

Perspektif mubadalah menilik syahadat sebagai pintu pertama kesetaraan antar manusia di hadapan-Nya. Pasalnya, mengucapkan syahadat artinya mengakui ketunggalan Allah dan bahwa sesama manusia tidak boleh ada yang menjadi Tuhan di antara sesamanya. Sehingga, mubadalah membaca Al-Qur’an dengan pendekatan keadilan gender. (M. Syafi’ie, 2019).

Perspektif qiraah mubadalah tentu dapat memukul mundur bias gender di tengah masyarakat. Perlahan-lahan melalui mubadalah diharapkan mampu menetralisir cara pandang sebagian masyarakat yang masih menganggap tabu kepemimpinan perempuan di ruang publik. Beberapa nash dalam Al-Qur’an dan Hadis berpotensi menjadi bumerang. Pasalnya, apabila memahami isinya dengan tergesa-gesa, menimbulkan kesalahpahaman yang cukup fatal. Muncul indikasi ketidakadilan sosial, seperti laki-laki lebih utama menjadi pemimpin dan perempuan kurang diberdayakan dalam kancah sosial. Pendekatan memahami nash dengan frontal mengakibatkan masyarakat belum bisa menerima kesetaraan gender dalam arti yang sebenarnya.

Salah satu ayat Al-Qur’an yang cukup membuat keabuan dalam cara pandang masyarakat adalah QS. Al-Baqarah ayat 30, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi,” terkadang paruh terjemahan ayat tersebut mengakibatkan kesalahpahaman di tengah masyarakat. Rupa kesalahpahaman muncul dalam anggapan yang menjadi khalifah adalah Adam. Sehingga, hingga saat itu dan seterusnya hanya laki-lakilah yang berhak dalam memimpin dan mengendalikan sesuatu. Masyarakat yang tidak melihat dengan multiperspektif akan secara langsung mengambill kesimpulan tergesa-gesa, bahwa seorang pemimpin, ketua, atasan yang diduduki oleh perempuan adalah ketidaklaziman.

Proses memahami sebuah nash Al-Qur’an sepatutnya tidak dilakukan dengan tergesa-gesa atau kaku. Beberapa hal yang seharusnya dimengerti dahulu adalah memahami sebab-sebab turunnya ayat tersebut, kemudian memahami kosa kata yang ada, dan menelaah dengan lembut sesuatu yang berpotensi menjadi polemik atau kesalah pahaman seperti persoalan gender.

Padahal secara realitas jika dipandang dengan objektif, perempuan yang memiliki kapabilitas memadai dapat berpotensi menjadi pemimpin. Maka melalui qiraah mubadalah berusaha memahami dengan substansi yang meliputi persamaan, keadilan, dan tanpa melihat gender. Sehingga Al-Qur’an dan Hadis bisa menengahi ketidakadilan gender. Memiliki potongan QS. Al-Baqarah ayat 30 di atas, sebenarnya tidak merujuk pada salah satu jenis kelamin.  Sehingga, baik laki-laki atau perempuan memiliki hak yang sama sebagai khalifah yang bertugas menjaga bumi ini.

Lahirnya qiraah mubadalah dalam dimensi Islam menjadi bukti bahwa Islam perhatian terhadap isu kesetaraan gender. Sehingga laki-laki maupun perempuan dapat berkiprah menjadi aktor aktif di tengah peradaban. Islam sebagai keyakinan yang norma-normanya mengantarkan pada kesejahteraan umum, tentu terbukti keabsahannya dengan peduli terhadap feminisme. Norma yang terkandung di dalamnya menunjukkan keadilan bagi laki-laki dan perempuan dalam ruang publik atau domestik. Islam tidak membatasi ruang gerak antar keduanya berdasarkan gender atau status sosial atas jenis kelaminnya. Namun, Islam melihat dengan objektif atas kapabilitas, kompetensi, prestasi, dan kemampuan terbaiknya. (Zulfa Zannatin, 2018) Sehingga, Islam kompatibel terhadap norma-norma HAM dengan menjamin keadilan hak bagi perempuan.

*) Aktivis Perempuan Rayon Avicenna, Komisariat Tarbiyah, PMII Cabang Surabaya Selatan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here