Opini, Liputanjatim.com – Siapa yang tidak mengenal Ade Armando? Artis twitter berlabel buzzer istana. Tetiba dia meringsek ke massa aksi yang digawangi oleh para Mahasiswa di depan gedung DPR-MPR RI. (10/4/22) Dalihnya, ia juga turut serta menolak 3 periode dan, atau perpanjangan masa jabatan Presiden. Sebagai bagian dari entitas kebangsaan, apa yang dilakukan Ade tergolong sah dan boleh-boleh saja. Menjadi sangat ganjal ketika ada beberapa kelompok bagian dari massa aksi tiba-tiba menolak kehadirannya. Daaaar. Terjadilah amuk masa. Ade dianggap sebagai penyusup, penghianat dan “mereka” mengeroyok Ade dengan sangat biadab.
Penulis sangat yakin bahwa, tidak ada satu setting aksi pun yang membiarkan adanya tindak kriminal. Kondisi apapun yang terjadi di lapangan ketika aksi demonstrasi, harus senantiasa dianalisa dan patut untuk dicurigai. Dinamika yang terjadi di medan laga aksi, bisa saja terjadi tidak sesuai dengan hasil setting aksi. Hal tersebut sangat wajar, terlebih jika massa aksi yang diorganisir bukan massa aksi yang solid. Alhasil, banyak muncul provokasi dan infiltrasi dari pihak manapun yang baik sengaja atau tidak, mengacaukan setting aksi.
Teringat kata Hanna Arendt dalam bukunya Asal Usul Totalitarianisme. Arendt menulis suatu bab secara khusus tentang propaganda, sebagai bagian dari Gerakan Totalitarianisme. Arendt di situ mengulas dengan cukup detail bagaimana peran dari propaganda, indoktrinasi serta teror dalam kerangka totalitarianisme. Perlu kita pahami bahwa, propaganda adalah termasuk bagian dari komunikasi massa untuk meyakinkan massa dengan tujuan-tujuan tertentu dari penguasa. Sedikit banyak ia berkait dengan pola pemerintahan totaliter, tetapi lebih dari itu, propaganda merupakan alat politik yang juga dilakukan oleh negara yang sedang “berperang” baik dengan masyarakat di dalam maupun di luar negeri.
Kasuistik Ade Armando kali ini, tidak luput dari alat propaganda pemerintah untuk mengalihkan berbagai macam tuntutan massa aksi. Tuntutan mahasiswa kali ini menjadi “kalah penting” dengan isu Ade Armando dikriminalisasi oleh beberapa oknum massa aksi. Walhasil, hingar bingar massa aksi berbalik menjadi isu kriminal dan kemanusiaan. Oknum yang menyerang Ade manjadi tersangka dan siapa pun yang menganggap bahwa ini settingan pemerintah dianggap tidak manusiawi. Habis sudah. Konsentrasi dan wacana Aksi hari ini berubah dan teralihkan. Masyarakat digiring pemahamannya bahwa aksi hari ini tidak lebih dari tindakan kriminal sebagian oknum massa aksi terhadap Ade Armando.
Terlepas kejadian tersebut murni dinamika yang berkembang di lapangan, tapi kita harus tetap curiga. Jangan-jangan, baik Ade Armando maupun sekelompok oknum yang melakukan tindakan kriminal tersebut adalah bagian dari propaganda pemerintah untuk mengaburkan isu yang diperjuangkan dalam aksi kali ini.
Para Petugas Penggiring Opini
Kita jadi teringat, apa yang diungkap oleh Louis Althusser mengenai Ideological State Apparatus (ISA) dan Repressif State Apparatus (RSA). Bisa jadi, hari ini hal tersebut tetap berjalan, tapi dengan bentuk yang berbeda. Ideological State Apparatus bisa bermetamorfosa menjadi buzzer di media sosial. Mereka bertugas menggiring opini publik di media masa; bahwa aksi hari ini adalah aksi anarkis, aksi kali ini membuahkan korban kemanusiaan, Ade Armando mengalami tindak kriminal dan lain sebagainya. Senyampang dengan itu, para agen Ideological State Apparatus kali ini mencoba mengalihkan isu bahwa Aparat dan petugas keamanan telah berhasil meringkus para oknum yang melakukan tindakan kriminal dengan waktu dan tempo yang sangat singkat. Super sekali.
Disisi lain, Repressif State Apparatus sangat memahami psikologi massa aksi. Bahwa aksi kali ini tidak tergolong massa aksi yang terorganisir dan solid. Mereka hanya memerlukan “tangan lain” untuk melakukan tindakan represifnya. Sebut saja, beberapa oknum yang melakukan tindakan kriminal tersebut, adalah “tangan lain” yang dimaksud. Lengkap sudah, setting lapangan yang sangat epic. Pemerintah menang. Pemerintah berhasil menjinakkan massa aksi, baik di medan aksi maupun pertarungan wacana di permukaan (baca: sosial media).
Lagi-lagi saya tegaskan. Tulisan ini tidak bertujuan untuk memilah apakah yang terjadi pada aksi hari ini telah terjadi tindakan tidak manusiawi atau tidak. Lebih dari itu, penulis ingin melihat sisi lain dari dinamika aksi yang berkembang di lapangan. Tidak ada kaitannya dengan arus besar penggiringan opini. Murni sebagai dorongan moral sebagai sesama mahasiswa.
Perlunya Strategi Kebudayaan yang Massif dan Terorganisir
Apa yang telah dilakukan oleh mahasiswa kali ini bisa jadi sangat jauh berbeda dengan mahasiswa era ’98. Baik dalam manajemen aksi, siapa yang dihadapi, dan pilihanpilihan isu yang diperjuangkan. Jika penulis amati, yang menjadi pembeda hanya pada wilayah konsistensi mengawal sebuah isu besar yang diperjuangkan.
Angkatan ’98 memiliki isu sentral yaitu Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) yang dilakukan oleh Orde Baru. Mereka konsisten mengawal isu tersebut hingga bisa menumbangkan Soeharto. Meski saat itu, pola yang dilakukan oleh ISA dan RSA tidak jauh berbeda. Mulai dari tindakan repressif aparat hingga teror hilang dan matinya para aktifis. Namun, yang patut diacungi jempol, Angkatan ’98 tidak terpengaruh dengan kondisi tersebut. Justru, kejadian tersebut membuat mereka semakin massif bergerak dan melakukan perlawanan. Mereka terus berlipat ganda.
Kali ini, dibutuhkan sebuah strategi kebudayaan yang massif dalam rangka perjuangan kaum pinggiran. Pemerintah sudah terlanjur rapi dan sistematis dalam menjalankan agenda-agenda pelanggengan kekuasaan. Maka, seluruh sektor harus dikuasai oleh para mahasiswa. Siapkan para konseptor gerakan, siapkan para negosiator ulung, siapkan basis massa yang masif dan tidak mudah dialihkan. Butuh juga dukungan dari para intelektual dan akademisi untuk menjadi pendorong moral para aktor gerakan. Pun juga, dibutuhkan kesabaran yang revolusioner.
Penulis: Puspa Indah
*Mahasiswa Sosiologi Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS)*